Writing is healing

Tahun 2019-2020 kayaknya itu kala terakhir kali aku nulis di blog yah, padahal blognya sendiri masih setia nongkrong di WordPress. Kemarin-kemarin sempet ada niatan mau di non-aktifkan aja sekalian daripada ga aktif segitu lama, tapi kok jadi sayang sendiri. Ibarat ngebesarin anak kecil, umur si blog mungkin bisa disamakan dengan umur anak SD kali ya. Apalagi sekarang emang kondisi lagi hamil 23 minggu alias 5 bulan. Kayak kasihan aja begitu, masa mau di ‘buang’ setelah bertahun-tahun jadi tempat curhat paling setia. Mungkin ini saatnya balik lagi ke hobi lama yang sering pasang surut terlupakan. Semoga dunia blog menyambut lagi dengan ramah (apasih ya wkwkwk).

Update kehidupan selama dua tahun belakangan ini yaa… Begitu adanya.

Dikenalkan sama seseorang dari tetangga,

dilamar,

menikah bulan Juli 2021 kemarin,

terus sebulan kemudian langsung hamil.

Melewati bulan-bulan itu juga, ada peristiwa-peristiwa suka duka yang sebenarnya ada sih keinginan pengin di tulis di blog. Tapi entah kenapa jadi sungkan mau cerita satu-satu. Semakin tua, perasaan makin takut mau beber kehidupan pribadi di internet. Walaupun tahu sih aku ini bukan siapa-siapa yang kehidupan pribadinya bakal dicari orang. Tapi tetep aja, was-was itu pasti ada. Habisnya jaman sekarang apasih yang ga bisa internet cari tahu? Modal cuma Facebook dan Instagram aja bisa ngungkap kriminal. Ga usah jauh-jauh, yang dekat-dekat disekitar kita aja lebih nyaman cari tahu lewat sosmed ketimbang berusaha memahami pribadinya langsung. Salah satu alasan kenapa aku jadi ga pernah lagi nulis di blog ya karena biar ga kegoda ngesosmed lagi. Itu dunia yang toxic, yang kalo terlalu di dalami malah jadi bumerang buat diri-sendiri dan emang dasarnya udah banyak pengalaman pribadi yang kejadian.

Beberapa hari yang lalu, salah satu peristiwa duka penutup tahun ini datang dari pihak keluarga bapak. Yayik (Bapaknya Ayah) yang sudah bertahun-tahun sakit karena menua akhirnya tutup usia. Aku, Mamak, bahkan Ali berangkat ke Penumangan Lama untuk melayat, mengantarkan Yayik ke liang lahat untuk terakhir kalinya. Bulan Juni lalu sebelum nikah, Mbah (Ibunya Mamak) lebih dulu berpulang, dikremasi dengan ritual ngaben adat Hindu Bali. Sekarang-sekarang inilah baru kerasa tahun ini berat, kehilangan keluarga sepuh… Dibuat sadar kalau kita tuh sudah tua. Nantinya bakal jadi orang yang menggantikan posisi mereka menjadi yang meninggalkan para generasi muda.

Ketemu sama sepupu Bapak (anak pamannya bapak yang kebetulan umurnya dekat) yang dulunya teman sepermainan jaman remaja dulu juga bahasannya ga jauh-jauh; ya ampun… Itu si A udah bujang, Mashaallah… Tante B udah gadis ternyata anaknya. Dan akhirnya masuk ke satu kesimpulan bersama ;

Batin, kita udah menua ya. Kita sendiri yang menolak untuk menua.

Tapi umur ga berbohong. Bentar lagi bakal jadi ibu yang harus ngajarin anaknya tentang dunia dan akhirat. Entah apa bisa. Urusan dunia aja masih morat-marit, masih pincang sana-sini kalau mau jalan. Mau ditangisin, dimarahin, disesalin, malah jadi merasa bodoh sendiri. Ngeluh pun udah ga sama nyamannya kayak dulu, kayak jaman kerja, siapa aja siap sedia kuping untuk mendengarkan dan mulut untuk julid. Mungkin benar, writing is healing. Daripada dipendam jadi penyakit, aku tumpahkan disini aja. Siapa tahu menyehatkan.

Doain ya, siapapun dari kamu yang baca post ini, biar kita sama-sama sehat walafiat. Semoga dengan nulis lagi di blog bisa jadi self-healing terbaik yang bisa aku usahakan buat diri aku sendiri. Aamin.

Jurnal Tentang Perubahan : Isi Tas

Keseharian dan Kebiasaan Yang Mempengaruhi Isi Tas..


Sebenarnya, sadar dengan isi tas yang menumpuk itu adalah hal yang biasa terjadi. Pas jaman sekolah dulu, tentu yang dibawa ya seputar buku dan alat tulis. Begitu masuk kuliah, bertambah jadi sedikit-sedikit harus bawa charger handphone dan earphone, atau laptop, atau USB drive berbagai ukuran besar daya penyimpanan. Lebih heboh lagi waktu masih bekerja di mall, segala perintilan makeup jadi satu dalam pouch lalu masuk ke dalam tas berikut dengan tissue pack, minyak kayu putih atau freshcare, parfum, kacamata, vitamin rambut, case lensa kontak, dompet dan tidak lupa handphone. Saking lengkapnya seisi tas selama kerja disana dulu, begitu kena musibah kejambretan ya hilang segala barang-barang penting. Tapi ya begitulah…. Live must go on kan?

Ketika Musibah Dan Pengalaman Membuat Kita Mulai berpikir..

Setelahnya, kejadian yang untungnya sampai saat ini cuma sekali terjadi (dan amit-amit jangan sampai kejadian lagi) bikin aku mikir lagi tentang apa yang sebenarnya harus dibawa ke dalam tas saat bepergian. Awalnya sih karena masih kebawa rasa paranoid, kemana-mana hampir nggak pernah bawa dompet atau pouch makeup. Uang juga cuma seperlunya aja, dan kadang smartphone ditinggal di kosan. Tapi yah, namanya juga cewek. Mana betah kalau isi tasnya nggak lengkap. Akhirnya kembali lagi deh miss bedak plus lipstik, miss kacamata ala kekinian, dan dompet yang gemuk diisi uang cash. Mikir sih mikir, penting banget harus dibawa? Tapi dasarnya sudah kebiasaan, tuman, kalau kata orang, akhirnya nyemplung dah isi barang-barang yang sama seperti  sebelumnya ke dalam tas. Yang katanya trauma jadi kembali lagi beraksi.

Kemudian, aku mencoba kerja di pasar lokal daerahku. Dapat kerjaan di toko grosir pakaian, yang punya kebetulan baik banget memperbolehkan aku tinggal di rumahnya. Selama 1,5 bulan bekerja disitu, ada 10 hal yang wajib aku bawa : Handphone, bedak, lipstik, pensil alis, sisir, kaca, lotion, parfum, dan mukena. Terakhir tinggal uang yang cuma sebagai pelengkap, karena makan minum sudah ditanggung bos. Di luar dari 10 barang itu, aku hampir nggak pernah bawa hal lain lagi. Anehnya justru nggak ada masalah, nggak merasa ada yang kurang. Dibanding dulu yang mungkin kerasa aneh kalau makeup nggak dibawa satu pouch lengkap, atau handphone tanpa earphone, vitamin rambut supaya rambut nggak berantakan kalau keluar rumah, dan bahkan tissue pack bisa beranak jadi dua atau tiga di dalam tas.

Awalnya aku nggak merasa hal ini penting dan cuma mencoba untuk go with the flow aja. Toh, kebiasaan kan ga bisa diubah dalam sekali atau dua kali tindakan. Kalau semisal aku dapet kerjaan di Retail lagi atau jenis kerjaan lain yang bakal harus bawa makeup lengkap, bisa jadi isi tasku bertumpuk seperti sebelumnya. Karena itu, belakangan ini aku berusaha banget untuk strict dengan kebiasaan baruku yang sekarang; menyederhanakan isi tas.

Kenapa Harus memilih dan Memilah Isi Tas Agar Sederhana?

Kalau ditanya kenapa, yaa jawabannya jelas. Karena seharusnya kita cuma bawa yang perlu aja kan? Kalau dipikir lagi, memang dari dulu juga sebenarnya makeup lengkap cuma diperlukan selama jam kerja. Selebihnya ya bebas, nggak perlu harus pakai makeup segitu full di luar jam kerja. Hanya aja, kebiasaan dan gaya hidup membuat segala sesuatu harus ada dan tersedia sehingga sulit memilah mana barang yang lebih penting untuk dibawa. Kenyataannya, isi tas jadi nggak pernah selaras dengan kebutuhan asli. Misalnya aja, sudah pakai softlens demi fashion masih juga bawa kacamata. Atau Lipstik yang rasanyarasanya nggak afdol kalau cuma punya 1 warna. Padahal, Isi tas sudah segitu seabreknya pun tetep harus pakai dompet yang modelnya besar biar macam orang berduit. Nah, jadi malu sendiri kalau ingat aku yang waktu itu.

Itulah kenapa aku rasa mengevaluasi dan menyederhanakan isi tas sendiri merupakan hal yang penting, supaya kita bisa menekan perilaku konsumtif dan bersikap lebih efisien. Sedikit – sedikit aja sih, pelan – pelan mulai mengeluarkan barang yang ga perlu dari dalam tas. Pilihan tas yang aku pake pun sekarang jauh lebih kecil dari yang selama ini biasa aku pake, biar lebih compact dan ga ribet. Jadi, sekarang ini list barang yang aku biasa bawa di dalam tas;

1. Bedak, lipstik, kaca.
Well, rasanya hampir mustahil kalau 3 benda ini nggak jadi benda wajib yang mesti di bawa. Tapi setidaknya aku bisa tahan untuk nggak bawa mascara, eyeliner dan pensil alis. Selain karena mascara dan eyeliner sudah jarang di pakai, pensil alis juga dirasa cukup kok dipakai sekali pas sebelum berangkat. Bedak dan lipstik juga aslinya dibawa buat jaga-jaga aja, siapa tahu makeup luntur kena keringat.

2. Tissue pack
Karena aku gampang keringetan dan kena flu. Ini benda wajib yang kayaknya susah lepas dari tas.

3. Kacamata
Walaupun nggak minus, mataku gampang berair kalau kena debu dan angin kencang. Jadi gunanya kacamata sih sebenarnya sebagai pengganti helm.

4. Card holder
Isinya E-KTP dan uang seperlunya. Fungsinya sebagai pengganti dompet aja sih, biar ga makan tempat dan mengurangi kebiasaan membawa uang lebih.

5. Lotion dan parfum
As always, supaya tetap wangi dan bersih aja. Terutama untuk kulit tangan. Kalau kaki, aku biasa pakai kaus kaki sekarang. Biar nggak belang kena sinar matahari kalau keluar rumah.

6. Handphone dan earphone (Di foto nggak ke-capture karena lupa)

List barang-barang di atas alhamdulillah bisa muat ke dalam satu tas kecil dan semuanya kepake sesuai kebutuhan. Kadang aku mencoba untuk nggak membawa kacamata dan earphone, biar ga merasa butuh banget. Intinya cukup menyesuaikan jumlah barang yang kita bawa dengan apa yang mungkin dibutuhkan selama keluar rumah, jadi bisa membiasakan diri untuk hidup lebih efisien dan minimalis. Aku belajar dari beberapa kali melihat video di youtube tentang minimalism life dimana dengan mensortir kepemilikan barang sesuai kebutuhan sebenarnya lebih menyenangkan dan melegakan ketimbang kebiasaan shopping atau mengoleksi barang untuk melepas stres. Lebih sedikit barang yang kita punya justru bikin hidup lebih tenang, karena kebanyakan orang membeli sesuatu lebih karena laper mata, kebiasaan, atau demi gengsi pribadi yang nggak diperlukan. Padahal setelah dibeli juga belum tentu dipakai terus, atau bahkan malah nggak dipakai sama sekali.

Meninggalkan Ketakutan Akan, “Aduh, Aku Nggak Bisa Kalau Nggak Bawa..”

Guys, memang terkadang hal sepele semacam isi tas sering luput dari pandangan. Orang kebanyakan berpikir, “Lah, kalo nggak ada, pasti susah.” Padahal dunia juga nggak bakal kiamat di tempat cuma gara-gara nggak bawa satu atau dua benda. Pernah kok sekali dua kali aku lupa bawa handphone, dan hidup ini baik-baik saja. Kalaupun ada yang menghubungi, paling tinggal dikasih tahu aja “Maaf, tadi lupa bawa hp,” And that’s it. Nggak pernah tuh sampai ada masalah berarti. Menurutku ini bisa jadi year’s goal yang bagus untuk mengubah perilaku diri sendiri yang terbiasa hidup “harus ada”, toh nggak ada salahnya untuk lebih praktis sama isi tas. Tertarik untuk nyoba?

Kisahku yang Belum Punya KTP, Mau Bikin Tapi..

Will you believe me if I say that I still haven’t had an ID card?

Tapi,

Emang aku belum punya. *Bete mode : on*

Niatnya kepingin biar langsung kelar, biar kepegang itu yang namanya E-KTP, rencana ke kantor Disdukcapil buat pencetakan E-KTP fisik dramanya pake berhari-hari. Secara karena rumahku sama tuh kantor jauh banget jaraknya dari ujung ke ujung, aku harus minta tolong sama Bapak yang kebetulan tinggal di daerah yang lebih deket buat nganterin. Emang sih, rumahnya sebenarnya sama jauhnya, belum lagi aku juga ga familiar sama tempat-tempat di sini. Ya udahlah sekalian silaturahmi juga, karena emang udah berbulan-bulan ga ketemu sama bapak.

Hari H-nya, aku berangkat sekitar pukul 7 pagi dari rumah. Nyampe ke kota (karena kan rumahku di pelosok) makan waktu setengah jam perjalanan. Sampai disana harus nunggu lagi sampai kira-kira jam 8 baru ada bus yang lewat, dan sampai di terminal jam setengah 9. Jadi waktu perjalanan dari rumah sampai ke kantor Disdukcapilnya kira-kira 1-2 jam. Kebetulan karena gedungnya baru, ya tentu aja bingung mesti kemana. Soalnya karena semua dinas pelayanan masyarakat digabung jadi satu di tempat tersebut, namanya juga udah bukan lagi Kantor individual yang beda nama dan tempat, tapi kemudian menjadi Mall Pelayanan Masyarakat. Untungnya sih kepengurusan catatan sipil kayak Kartu Keluarga, E-KTP seperti itu ada di gedung utama. Langsung menuju pos kepengurusan E-KTP, aku serahin lembar fotokopi Surket tahun 2018 dan duduk di kursi tunggu. Ah, ya memang sudah biasa sih nunggu. Sebelumnya di kantor yang lama juga aku harus nunggu sejam buat bikin Surket tahun 2018. Apalagi sekarang niatnya buat pencetakan, jadi mungkin waktunya bakal lebih lama.

Akhirnya, namaku dipanggil. Tapi disusul dengan info yang bikin shock, “Mbak sudah pernah punya E-KTP? Data di kami E-KTP mbak sudah ada tahun 2012.” Aduduu.. kalo sudah punya yang ngapain toh aku jauh-jauh ke kantor Capil buat ngurus KTP? Perasaan hati sudah ga enak bawaannya. Kubilang, “Saya belum terima, mbak.” Tapi masih diototin sama petugasnya. Sampai akhirnya kujawab dua kali, barulah mbak petugasnya ngasih blanko tanda terima berkas dengan tanggal kembali ke Kantor Capil tertera 04 Maret 2020. Menurut si mbak petugas, blanko E-KTP sedang kosong. Tapi yak kok, harus 4 bulan banget gitu baru bisa punya E-KTP fisik? alamaaakk…

Sudah kadung jauh-jauh datang dan ujung-ujungnya belum bisa punya E-KTP, akhirnya aku minta pembuatan Surket yang baru. Itupun masih harus nunggu lagi setelah jam makan siang. Good grief. Kami keluar dari gedung dan cari tempat makan yang kebetulan cuma menyediakan pecel lontong dan mie ayam. Aish, keselnya. Aku pun cerita, iseng-iseng curhat colongan sama penjual minuman disitu.

“Gimana ini, bang. Masa’ saya mesti bolak-balik lagi buat ngurus KTP. Mending kalo ga jauh.”
“Memang si mbak dari mana?”
“Unit 3, bang.”
“Jauhnyaa.. Itu mah harusnya kasih uang aja mbak. Ga rugi kok kasih cepek, yang penting beres. saya aja yang rumahnya depan sini mending kasih uang, ga tahan repot.”
“Iya nih, bang. Bisa kasih solusi ga nih, yang penting E-KTP saya keurus nih. Mau dipake buat ngelamar kerja masalahnya.”
“Oo.. saya punya sih kenalan orang dalem di sini. Tapi mau teleponnya ga ada pulsa.”

Hehe, modal dulu lah ini ceritanya. Berhubung aku juga jualan pulsa via Payfazz, kuisikan pulsanya ceban itung-itung sebagai komisi. Lalu dia telpon orang yang katanya kenalan “orang dalam”, lari ke arah gedung dan masuk ke dalam. Mungkin ada sekitar 5-10 menit belum keluar. Sebenarnya, aku sudah ga berasa semangat lagi setelah liat tanggal di blanko tanda terima berkasnya tadi. Tapi karena kita hidup selalu dengan kata “Siapa tahu”, teteeeuupp di hati masih ngarep juga kalau-kalau berhasil.

Balik dari gedung, si abang itu kemudian melapor;
“Gini mbak, memang kalau mau buat E-KTPnya sekarang belum bisa karena blankonya sedang kosong. Saran saya sih coba mba cari dulu aja E-KTP yang lama di balai desa atau di Di Kantor camat. Ini sih yang ngomong yang bagian komputernya.”

Sebelum cari tempat makan, aku sama bapak juga sudah sempat menghubungi salah satu aparat desa kami untuk menanyakan perihal E-KTP tahun 2012 yang sampai sekarang masih belum aku terima. Padahal aku dan bapak melakukan perekaman E-KTP di hari dan tempat yang sama, tapi justru cuma E-KTP bapak yang sukses mendarat di tangan pemiliknya. Jawabanya malah disuruh ke balai desa aja untuk buat surat kehilangan E-KTP dan balik lagi ke kantor Capil. Buset dah. Otomatis kesimpulannya E-KTPku memang dari awal sudah tidak ada di balai desa dan kemungkinan memang tidak ada pula di Kantor Kecamatan. Dari tahun 2013 sampai 2018 aku cuma pegang KTP non-elektrik dan memang selama tahun 2012 juga memang tidak ada info apa-apa mengenai E-KTP tersebut. Lantas, kenapa kemana rimbanya tuh piece of plastic? Ada duitnya kah sampai hilang di gondol tuyul? Atau punya ilmu tertentu? Hanya menjadi sebuah misteri. Tapi inilah kenyataan sistem kependudukan Indonesia yang katanya canggih tapi berputar-putar. Tahun 2012 waktu itu, aku masih inget banget gimana alotnya proses perekaman E-KTP sampai harus nunggu dari pagi hingga menjelang sore. Petugas Disdukcapilnya pun datang ketika siang hari dimana orang-orang sebenarnya sudah bolak-balik pulang ke rumah lalu nongol lagi di balai desa. Dengan sejarah yang panjang begitu, siapa yang tahan harus nunggu berbulan-bulan lagi untuk bisa diakui sebagai warga negara Indonesia?

Alhamdulillahnya, Surket bisa dicetak dan aku terima pas pukul 1 siang. Keluar dari Mall Pelayanan Masyarakat, kami cari rumah makan untuk isi perut dan beristirahat sejenak. Meski hasil hari ini jauh dari kata puas, setidaknya aku punya surat identitas sementara sampai 6 bulan kedepan. Awalnya sih mikir gitu. Sampai ke rumah, iseng-iseng aku search di google dengan keyword “Keluhan soal E-KTP” untuk cari info lebih lanjut soal pencetakan dsb. Dari situ, ketemulah nomor whatsapp Ombudsman RI dimana kita bisa mengeluhkan soal E-KTP. Dari sini, mungkin aparat Kantor Disdukcapil daerahku sudah bisa mengetahui siapa yang menghubungi Ombudsman. Tapi jujur, alasan aku menghubungi Ombudsman bukan untuk asal ngelapor karena kesal, tapi aku benar-benar butuh E-KTP tersebut dan tidak tahu harus dengan cara apa lagi harus mengurusnya supaya bisa benar-benar menerima KTP fisik. Coba bayangin, 7 tahun ga punya E-KTP, ngurus apa-apa ga bisa. Bahkan ngelamar kerja saja sudah susah. Yang ngeselin itu saat pihak Ombudsman sedang melakukan konfirmasi ke instansinya, aku sempet dibilangin begini, “Memang E-KTPnya untuk apa mbak, kan sudah ada Surketnya. Toh sama saja.”

I wasn’t really sure if the question was said as a form of curiousity or just for the sake of talking, but I seriously wanted to tell whoever it was at the opposite side of this convo with, “WELL, DUH.” Like, how could you ask someone why they need an ID card? Terlepas dari surketnya yang punya masa berlaku 6 bulan, kepentingan punya E-KTP fisik dengan masa berlaku seumur hidup kan bakalan lebih diprioritaskan. Tapi ya udahlah yaaa… Seharian udah capek mikir keras plus waktu dan tenaga yang sudah terbuang demi E-KTP kalo masih emosi juga kan ga lucu. Setidaknya, setelah menghubungi pihak Ombudsman ada sedikit titik terang kalau aku tetep bisa punya E-KTP baru asalkan dateng sesuai tanggal yang tertera di blanko tanda terima berkasku. Okelah. End of discussion. Mungkin ridha Allah buatku diakui bener-bener jadi penduduk Indonesia masih kepending kali ya? Hihi..

Intinya dari pengalamanku mengurus E-KTP ini adalah, selama kalian para kawula muda masih berjiwa muda dan emang masih muda beneran (maksudnya yaa.. baru lulus sekolah gituu.. ) Uruslah cepet-cepet E-KTP kalian sebelum blankonya habis. Karena diurus buru-buru atau lambat-lambat pun, aku juga ga tau kenapa itu si blanko selalu statusnya kosong melulu. Setiap tahun selalu ada anak berulang tahun ke 17, itung aja berapa puluh ribu orang yang butuh kartu identitas setelah lulus sekolah. Mungkin mereka nganggur dulu? Atau pakai kartu pelajar aja kemana-mana? I don’t know. But they’re still young though. Kalo ada apa-apa ya masih maklum larinya ke orang tua. Lah, yang 28 tahun ini? Bisa gitu ngedekem di rumah ga kerja dan ga punya E-KTP? Coba aja try being me. Coba, cobaaaaaaaa!!!!!

*Jeritan hati yang keras, tapi dalam hati sih*

Rasisme di Indonesia itu Rahasia Umum, Lho

Sebelumnya, seperti post yang pernah aku buat jauuuuhhh sebelum ini (Dan masih ada kaitan yang sama dengan topik SARA), perlu dicatat bahwa aku sama sekali ga berniat membahas topik seperti ini sebagai pancingan emosi atau provokasi. Jujur aja, hal-hal berbau SARA jadi salah satu topik yang paling aku hindari karena latar belakang keluargaku yang berasal dari komunitas agama dan budaya yang berbeda. Sampai sekarang pun kalau ngebahas orang tuaku yang satunya bersuku Lampung dan lainnya Bali, masih suka di tanya lagi dengan pertanyaan yang lebih kepo; “Terus ibunya Islam, kan?”, “Terus agama kamu apa?”, “Loh, orang Lampung toh, tapi kok kulitnya Hitam?” Dan sekawan-kawannya. Terkadang aku heran sendiri, kok orang lain bisa sampe segitunya ngasih pertanyaan ngeselin begitu kalo aku cerita soal background keluargaku. Bahkan dulu waktu awal kerja, karena warna kulitku gelap banget dan rambutku keriting sampai disangka orang Papua. Udah kenyang banget sebenarnya denger pertanyaan semacam ini dari kecil, tapi lama-lama kepingin curhat juga. Apalagi kemarin-kemarin sempet viral soal Rasisme yang berkaitan dengan Masyarakat Papua. Dari sini aja kita bisa nilai donk, bahwasanya Indonesia yang digadang-gadang negeri Bhineka Tunggal Ika yang menghargai perbedaan aslinya lekat dengan Rasisme?

I don’t know why people are so into white Skin and straight hair and perfect body shape, like, cuma karena beberapa komunitas suku tertentu lebih dominan dengan warna kulit dan postur tubuh tertentu bukan berarti mereka punya alasan untuk ngejudge orang lain yang perawakannya berbeda dengan dia atau komunitas tersebut. Like me, for example, cuma karena warna kulit aku gelap, bibir aku tebal dan rambutku keriting, hampir 50% orang di tempat kerjaku dulu selalu mengaitkan itu semua ke daerah Timur Indonesia. Oo ya tapi tentu aja, aku ga punya masalah apa-apa sih sama orang Indonesia timur. Toh kita punya sejumlah nama penyanyi Indonesia dari tanah Timur yang suaranya bikin Iri. Rambut mereka keriting? Kulit Mereka Gelap? I’m sorry deh, tapi kalo kamu masih demen denger lagu-lagu internasional berarti bego banget kalo sampe ngejudge warna kulit dan penampilan. Cuma ya sebel aja, memangnya kenapa kalau aku punya perawakan tubuh yang begini? Ada masalahnya?

Orang Indonesia selalu bangga banget dengan keberagamannya, selalu antusias kalau ada orang sebangsa dan setanah air sukses secara Internasional terus heboh bilang, “Dia sudah bawa nama Indonesia, kebangsaan Bangsa.” But actually, nilai kebangsaan kita udah jauh banget bergeser dari yang seharusnya kita junjung. Ini juga ngaruh ke masalah keagamaan lho, karena sekarang ini semakin banyak perdebatan agama yang muncul sampai kasusnya membesar seperti balon yang nunggu di tusuk pake jarum. Komunitas internasional sebenarnya sudah familiar dengan tagline milenium Indonesia “Negara penuh kontroversi SARA”, tapi kita justru gembar-gembornya penuh semangat. Makanya aku suka ketawa, kalau ada masalah di negara lain semua pasang aksi bersimpati. Terus masalah kita sendiri, gimana ngelarinnya?

Baru-baru ini aku sering nonton video di channel Asian Boss yang ngebahas topik-topik soal Indonesia. Netizennya banyak yang komen, “Kok bahasannya soal agama lagi?”, “Kok bahasnya soal hijab lagi?”. Aku malah ngerasa aneh sama pertanyaan mereka, wong Itu bukan salah crew Asian Bossnya lho padahal. Orang Indonesia sendirilah yang membuat negaranya selalu panas soal perdebatan agama. Pengalamanku pribadi udah jadi contoh paling kongkrit, karena pertanyaan “Tapi Ibunya Islam, kan?” Udah aku dengar dari kecil tanpa absen. Padahal emangnya kenapa kalau Ibu aku non-muslim, salah? Mainnya pada kurang jauh nih berarti ya.

Pada akhirnya, apakah kasus-kasus seperti yang terjadi di Papua itu bakal jadi yang terakhir? Jawabannya; none in the million years. Lebih baik pikirin agenda terbesar buat bangsa kita supaya belajar untuk menyampaikan sesuatu yang proper di tempat dan waktu yang proper pula. Kalo ga suka penampilan orang lain, liat dulu diri anda di kaca yang gede. Emang anda itu lebih baik? Inget aja, dari 5 jari di tangan cuma 1 biji yang dipake buat nunjuk ke orang. Jangan lupa arah 4 jari yang disimpen, bukannya justru nunjuk ke diri sendiri? Jadi kalo kamu nunjuk seseorang Hitam, jelek dkk pake 1 jari, 4 jari lainnya sebenarnya nunjuk ke diri kamu sendiri lho. Yakin mau bully orang terus? Indonesia itu bukan cuma diisi sama cewek ala Korea yang putih kayak susu atau Oppa ganteng yang mukanya licin sampe nyamuk pun kepeleset. Indonesia juga bukan cuma hunian khusus kaum Muslim sampe ada ritual keagamaan lain harus tergeser dan terasing. Back to those thousand years before Islam came to Indonesia, Nusantara masih menganut paham animisme yang tradisinya masih lestari tuh sampe sekarang. Rasisme di Indonesia itu terlalu biasa sampai kita sendiri ga pernah sadar bahwa hal ini adalah sebuah masalah besar. Pokoknya, mengharapkan Indonesia jauh dari kata Rasisme itu seperti ngarep kena amnesia attack kalo ketemu mantan; close to impossible.

Purbasari Ultra-Smooth Brow Liner, How is it?

Kayaknya aku musti nyetop belanja makeup online deh.. tapi akhir-akhir ini emang rasanya guateeelll banget kepingin nyoba makeup product yang belum pernah aku jamah sebelumnya. Seperti Purbasari Ultra-Smooth Brow liner ini yang denger-denger dirilis Oktober 2018 lalu, bikin penasaran aja pas nongol di recommended list toko yang aku follow di Lazada. Sempet berhari-hari galau mau beli apa kagak coz pensil alis Wardah yang biasa aku pake juga masih utuh gitu, tapi terlalu tergoda ngeliat packagingnya. Yowes, aku beli aja barengan sama Emina Sun protection cream SPF 30 karena kebetulan kepingin beli sunscreen.

Dibungkus kotak karton glossy dengan beberapa keterangan seperti shade color, ingredients dan cara pemakaian, aku pilih warna soft black soalnya rada takut yang coklatnya ga nyatu sama warna alis aku. Lagian kalo pake warna hitam kan emang sesuai aja sama warna rambut asli, ngapain pake coklat segala. Pertama kali aku keluarin produknya dari kotak, yang terpikir “Wuidih panjang amat?!” Karena ada tambahan spoolie di opposite side pensil alisnya, jadi keliatan panjang. Well… Untuk ukuran harga Rp 35.000-an ke atas (harga online) udah termasuk murah kan tuh? Spoolie-nya juga lembut dan lumayan enak dipake buat ngeblend pensil alis. Sedangkan eyebrow linernya sendiri berupa automatic pen yang cukup diputer langsung keluar pensil alis berbentuk segitiga. Agak beda ya sama automatic brow pencil yang biasa aku liat kayak punya Mustika Ratu atau Maybelline. Tapi nilai plusnya adalah doski murah beud dan kemasannya badai kayak mahalan punya.

Seperti khasnya Purbasari, kemasannya pasti kalo ga hitam ya putih. Yang ini kebetulan kemasannya berwarna hitam glossy dengan label Purbasari berwana keemasan (label jenis produk ditulis pake warna putih) dan ada keterangan tanggal kadaluarsanya juga. Walaupun aku ga tau apakah browliner ini bakal jadi item favorit atau kagak, kayaknya kalo masuk pouch makeup rada-rada nambah gengsi ya bok wkwkwkwk 😂😂. Kayaknya juga ni pensil alis masuk ke seri Hydra Purbasari yang juga mengeluarkan produk compact powder dan BB cream. Aku belum tau berapa banyak jumlah produk yang termasuk ke dalam seri Hydra ini, tapi kalo pensil alisnya udah sebagus ini mungkin produk yang lain worth buat di coba.

Ga ada masalah berarti sih pas pengaplikasiannya, tapi masih termasuk susah menurut aku. Mungkin karena udah biasa pake pensil alis konvensional yang runcing kayak bambu para pejuang 45 (beh edan!) Makanya berasa kurang nyaman dengan bentuknya yang segitiga. Masalah intensitas warna sih tergantung pemakaian masing-masing ya, tapi warna soft blacknya ga sampe bikin merong kayak pake arang kalo diaplikasiin pelan-pelan. Ada yang bilang katanya ada ashy color di warna soft black ini tapi aku ga nangkep tuh, cuma kalo pada seneng makeup natural mungkin doi bisa jadi pilihan yang bagus. Kemarin sempet aku coba pake karena harus pergi ke Bank ngambil uang (di daerahku ga ada ATM 24 jam untuk BCA), masih harus dibantu pake pensil alis Wardah biar dapet presisi yang HQQ. Kayaknya kalo buat aku lebih cocok ni pensil alis dipake buat ngisi arsiran daripada ngebingkai, Soalnya ga gampang ngegumpal kayak si Wardah.

Warnanya kurang keluar kalau di foto, tapi cocok dipakai harian karena ga merong.

Aku kurang tau berapa kisaran harganya kalo di Toko, soalnya belum pernah cari produk Purbasari di toko atau pasar. (waktu kerja juga ga pernah make Purbasari sih). Kesimpulanku untuk produk ini;

Yang aku suka;
1. Tampilannya bagus kayak bukan produk lokal. Personally aku suka dengan tampilan produk yang ga neko-neko kayak gitu, kesannya berasa “Mahal” kan yah.
2. Untuk ukuran automatic eyebrow liner, menurutku kualitasnya bagus dan harganya murah. Kalo pake pensil alis Wardah kadang bikin sebel sama teksturnya yang gampang menggumpal, tapi Purbasari brow liner ini ga separah si Wardah. Masih enakan lah kalo diblend dan karena blendernya berupa spoolie yang lumayan lembut jadi makin puas sama produk ini.
3. Warnanya ga merong jadi kesannya natural. Cuma kayaknya jadi tricky kalo mau bikin yang agak tebelan. It’s ok sih sebenarnya, sekarang ini aku lagi kepingin pake alis yang ga terlalu merong biar makeupnya ga sangar-sangar amat.
4. Praktis karena ga perlu di raut kayak pensil alis biasa dan ga ada bau kayu yang menyengat. Kayaknya ini memang nilai plus dari semua automatic brow liner yang pernah ada.

Yang ga aku suka;
1. Kayaknya ni pensil alis masih termasuk produk yang jarang ada di pasaran. Walaupun aku belun survey ke pasaran, tapi sebenarnya produk-produk seperti Sariayu, Mustika Ratu atau Purbasari itu jarang banget bisa aku temuin di daerahku karena semua toko kosmetik rata-rata didominasi sama produk Wardah dan Pixy. Well… Aku tetap harus sabar kalo mau repurchase karena bisanya cuma lewat online.
2. Perlu penyesuaian untuk menggunakan automatic brow liner kayak gini. Aku baru bener-bener ngerasa nyaman makenya setelah beberapa kali pengaplikasian. Terus, harusnya sih bentukannya jangan segitiga gitu sih.. kalo bisa seharusnya lebih pipih atau sekalian bulet kayak eyeliner. Mungkin buat ngebedain kali ya.
3. Isinya ga sebanyak pensil alis biasa kurasa. Yahh… Udah wajar sih.

Apakah aku bakal repurchase? Sure, tapi kalo emang perlu – perlu banget. Gimana yak, mesti beli via online tuh rada ribet dan makan waktu deh. Dan aku masih punya pensil alis Wardah yang utuh juga jadi agak sayang kalo ga kepake. Tunggu abis dulu kali yah hahaha.

Sariayu Putih Langsat Peel Off Mask

Akh… Akhirnya aku punya bahan buat review masker. Sebelumnya cuma muter – muter di masker alami dari endapan air beras sama madu+kopi aja, sekarang aku bisa ngeshare mainan baru. And as always, Sariayu emang brand paporit akyu deh.. aku ga tau lho kalo Sariayu ada peeling mask yang modelnya gel transparan. Biasanya kalo beli produk dari Brand ibu pertiwi ini palingan pensil alis, eyeshadow tricolor sama 3 in 1 cleansernya. Dulu pas masih jaman lipstik mini Sariayu meraja lela pasti ga bakal ketinggalan buat nyetok, eh.. sekarang udah ga ada. Duduhh rasanya sedikit excited buat ngeshare ni produk hehehe…

Sariayu Peel of mask Putih Langsat ini konsistensinya berupa gel yang lebih cenderung keruh ketimbang transparan dan lebih cair dari yang terlihat. Dibilang lengket banget sih ga segitunya, tapi kalo nempel di rambut emang susah banget buat dibersihin. Kalo diaplikasiin di muka sedikit kerasa sensasi dingin, dan di mukaku entah kenapa pasti ada rasa sedikit perih setelah dinginnya hilang. Tapi ga seperti peeling mask lain yang pernah aku coba (you know lah yang warnanya hitam itutuhh), ngaplikasiin di muka gampang banget dan ga seberat yang aku kira. Pake jari aja juga ga masalah (tapi jarinya harus bersih yahh) dan mukaku fine – fine aja setelah rasa perihnya hilang. Pas kering juga ga narik banget ke kulit jadi gampang aja buat peeling maskernya, dan ga perlu dibilas lagi setelahnya. Kalo lagi maskeran pake peeling mask ini selain ga malu dikira pake topeng juga ga bikin susah ngomong. Biasanya aku maskeran pas lagi jaga warung siang di siang hari dan happy ajah karena ga bakal ngagetin orang. Cara pakainya; tinggal diratakan ke seluruh wajah yang sudah dibersihkan dan diamkan selama 10-15 menit. Kalau sudah mengering tinggal ditarik aja dari kulit, dan seperti yang aku sebutkan tadi, penarikan masker dari muka ga bakal bikin muka perih karena dasarnya ga kenceng-kenceng banget nempel di kulit.

Claim dari Sariayu Peeling Mask ini yaitu;

Masker Peel Off yang praktis digunakan tanpa perlu dibilas. Mampu mengangkat kotoran dan sel kulit mati, menjadikan kulit bersih, segar, dan lembut. Ekstrak buah Langsat, ekstrak bunga Hibiscus, Vitamin C, dan provitamin B5 membantu melembapkan dan membuat kulit wajah tampak lebih cerah.

Wangi Peel off masknya kayaknya kecampur sama bau alkohol yang menyengat, tapi untungnya di aku sih ga begitu bikin risih. Dikemas dengan tube berwarna hijau seberat 75g, dapetnya lumayan lho untuk harga di bawah 30ribuan perak. Pas masih baru biasanya masih ada segel di dalam lubang tube, beneran aman dan higienis kalo kebetulan kalian belinya via online shopping. Harganya juga murah lho, sekitar Rp 26.000,- dan mungkin di tempat lain juga ga nyampe angka 40ribuan. Yang bikin susah cuma tempat nyarinya, kecuali kalau langsung dateng ke konter kosmetik khusus Sariayu. Kayaknya aku pernah sekali liat masker ini di Chandra Superstore (Bandar Lampung), cuma sebelumnya ga pernah tertarik beli dan saat itu aku juga ga begitu suka maskeran. Agak nyesel juga kenapa ga mau nyoba hahaha 😂😂😂.

Yang aku suka dari Sariayu Peel Off mask :
1. Kemasannya praktis, higienis dan jelas aman karena ada segel foil di dalam lubang tube. Jadi bisa tahu barang yang dibeli masih beneran baru atau udah kena sentuh tangan ga bertanggung jawab.
2. Makenya gampang dan ga ribet. Bisa diatur berapa banyak gel yang harus dipake dan bisa diaplikasikan dengan jari.
3. Ga terlalu narik banget ke kulit jadi mau dipake setebel apapun ya jadi aja.
4. Ga berwarna; konsistensinya kan gel transparan jadi pas maskeran ga bakal menarik perhatian orang.
5. Setelah maskeran kulit kerasa kenyal dan lembut banget. Ga bikin kering atau kerasa perih setelah maskernya dilepas.

Yang ga aku suka :
1. Kalau kondisi lagi panas banget atau dengan kondisi kulit aku yang gampang berkeringat, sebenanya butuh lebih dari 10-15 menit (waktu yang diperkirakan) supaya maskernya mengering. Malahan aku sampe harus pake bantuan kipas angin karena susah banget buat keringnya. Yang jelas kalo buat yang kondisi kulitnya gampang berkeringat kayak aku mendingan pilih waktu malam hari aja untuk pake masker ini.
2. Baunya cukup strong karena kecampur antara bau bahan herbal sama alkoholnya. Untuk orang yang ga suka bau produk yang strong mungkin ga nyaman dengan masker ini. Untungnya untuk aku yang biasanya sensitif sama bau produk yang menyengat, make Sariayu Peel off mask fine-fine aja.
3. Agak susah ngebersihin sisa produk yang nempel, terutama kalo nempelnya di rambut.

Well.. masalah repurchase sih belum tau ya, sejauh ini aku suka sama masker dari rangkaian ‘Putih Langsat’ Sariayu ini. Cuma masih kepingin nyoba jenis masker yang lain biar tau mana yang paling cocok untuk kupakai. Akhir-akhir ini juga karena lebih sering make sleeping mask dari Viva makanya masih lumayan banyak. Tapi menurutku masker ini cocok banget dipake sebelum makeupan, karena jatohnya bikin muka lebih bersih dan ga terlalu berminyak which is enak banget sebagai starter buat dandan.

Esenses akhirnya Official

Waterproof volume mascara dari Esenses kebetulan jadi salah satu produk wajib yang aku pakai sejak awal kerja sebagai SPG. Alhamdulillah banget selama kerja dapet ilmu permakeupan yang mumpuni dari teman kerja dan para senior, jadi ga bego-bego banget kaan kalo mau kondangan atau acara formal mesti gimana biar syantik. Eh eh pas lagi iseng buka youtube, si Esenses besutan PT Aulia Cosmetics Indonesia ini sempet di review sama salah satu beauty vlogger yang lumayan nyentrik karena si doi nih lanang cuy (FYI aku ga tau orientasinya apa yaa tapi kan dia beauty enthusiast so it’s safe to say dia tuh pretty boy). Awalnya aku ga yakin brand Esenses yang direview itu sama dengan yang udah aku pakai dari 4 tahunan yang lalu, apalagi produknya lumayan banyak dari cushion, eyeliner, sampai lipcream. Tapi begitu si mascara dewanya muncul, ohemji aku terpukau. Hebat sekali kamuh Esenses, sekarang kamuh sudah official. Aku ketinggalan berita lho yaa… Tapi pokoknya congrats. Lempar bunga deh buatmu.

Kalo mau ngomongin perkembangan Essenses, aku akuin doski cukup menjanjikan dengan ngasih brand image yang kekinian banget. Agaknya semangat juga produsennya ngikutin trend pasar kosmetik yang lagi perhatian soal kemasan. Dulu packaging mascaranya ga coklat doff dengan label gitu kayak sekarang ini, tapi lebih ke hitam glossy dengan corak seperti batik berwarna fuschia. Setahu aku namanya juga dulu bukan Esenses, tapi Evany Senses. Jadi kalo nyari mascara di pasar atau toko kosmetik sering juga bilangnya “Mascara Evany”. Sebenarnya aku suka tampilan yang lama karena warnanya hitam, tapi yang sekarang jadi keren banget sumpah kayak elegan banget. Kotak kemasannya juga ga ada gambar popart cewek amrik gitu, tapi lebih ke warna pink pucat dengan label warna hitam. Entah ya kalo sekarang, tapi dulu mascara Essenses tersedia ga cuma warna hitam, tapi ada warna birunya. Sayangnya karena warnanya kurang keluar dan mascara warna biru kurang populer jadi jarang ada yang nyari.

Kemasan lama Esenses, dulu namanya masih Evany Senses (taken from Google).

Kemasan Esenses yang baru dan unyu-unyu (taken from Google).

Untuk kemampuan mascaranya sendiri, aku setuju banget sama review si beauty vlogger kalo essenses ga ngasih volume yang wah dibanding mascara yang lain. Malahan jatohnya lebih ke manjangin daripada bikin tebel, dan harus di apply berulang kali kalo emang ngebet kepingin bulu mata badai. Bentuk brushnya lebih lurus sebenarnya, jadi kalo udah terbiasa dengan bentuk brush mascara yang melengkung mungkin agak ngerasa susah saat pengaplikasian. Kalo membandingkan dengan QL mascara yang akhir-akhir ini sering aku pake, Essenses lebih lama keringnya apalagi kalo di aplikasiin agak banyak. Makanya dulu aku ga begitu sering menggunakan mascara karena males kalo harus ngebersihin bekasnya yang belepotan di bawah mata, apalagi kalo buru-buru. Essenses tuh memang jenis mascara yang bakal smudge parah banget kalo accidentially nempel di muka. So kalo ada yang mau coba, mendingan hati-hati supaya ga belepotan kemana-mana.

Selain itu, mungkin banyak yang kurang suka sama efek spidery alias bentuk bulu mata yang jadi mirip kaki laba-laba kalo di apply berulang kali. Mungkin itu akibat kemampuannya yang bisa manjangin bulu mata kali’ ya. Ngebersihin mascaranya pun mesti hati-hati karena meskipun termasuk gampang dibersihin (tanpa remover juga bisa), kalo kena air tau-tau bisa jadi ngenggumpal dan berjatuhan ke muka. Itu pengalaman yang paling sering aku alamin kalo pake mascara Esenses dalam jumlah yang banyak terus abisnya mesti wudhu buat sholat. Makanya kalo lagi ga berhalangan, aku cuma pake seperlunya aja dan baru all out kalo lagi masuk masa menstruasi. Huehehehe… (Kalian bisa perhatiin dari insta-story yang aku ambil, bulu mataku jadi lebih panjang tapi jatohnya keliatan “spidery” dan ada smudge di bawah mata. Karena posisinya juga udah panas banget dan aku udah males buat bersihin muka, ya udah aku biarin aja sampe sore biar sekalian dibersihin waktu mandi).

Aku udah jadi langganan Mascara Esenses dari jamannya masih seharga 15ribuan sampai sekarang mencapai angka Rp 20,000an. Kalo kalian kepingin beli langsung dari penyalur aslinya, sekarang PT Aulia Cosmetics Indonesia sudah membuka official store di Shopee dan Lazada. Harga yang dibandrol di Lazada sih Rp 17.000,- tapi biasanya di Shopee lebih murah. Sumpah aku penasaran banget kepingin nyoba Eyeliner sama Cushionnya karena eyeliner adalah benda favoritku dan dalam bermakeup sementara harga cushionnya termasuk jajaran cushion termurah. Iihhh terus yah pas kemarin aku mampir ke ofc-store Lazadanya, ternyata doski jual micellar water juga. Waooo jadi kepoh abis kepingin nyoba, sayangnya belum ada fitur COD untuk yang Lazada. Kalo di Shopee gimana ya? Ada yang udah beli?

(Update : Aku udah nyoba nyari review mengenai Esenses di Youtube dan ternyata udah ada beberapa youtuber yang bikin one brand tutorial untuk brand ini. Aduh aku emang telat banget kali ya hehehe… Salah satunya bisa kalian tonton di bawah ini.)

Warung Ani : Di sebut “Ibu”, kok Marah?

Hari ini cuaca cukup panas di Kampung Tridharma. Beberapa orang datang membeli es batu demi melepas dahaga setelah bekerja di Ladang, atau demi menghalau rasa panas matahari yang hampir berada di puncak kepala. Tak jarang sekali datang orang bisa membeli lebih dari dua bongkah. Biar mantul, kata mereka. Aku mendapat giliran menjaga warung sekitar pukul 11 siang karena adik hendak makan siang, sementara Emak tengah membersihkan halaman depan rumah. Kebetulan memang rumput liar sudah mulai tumbuh mencapai lutut kaki orang dewasa, dan Emak sudah gatal rasanya ingin memegang cangkul kebanggaannya. Maklum, Emakku itu sangat aktif di usianya yang berkepala lima. Mana mau dia diam di rumah tanpa menggerakkan badannya untuk bersibuk sana-sini. Untungnya persediaan es batu di kulkas masih banyak, jadi kalau-kalau beliau juga kepingin minum es teh tentu bisa langsung disiapkan.

Pada saat itu seorang bujang kurus berkaus singlet tipis memarkirkan motor di depan warung, menghampiri seraya memanggil dengan suara yang lumayan keras;

“Bu, es batunya dua biji!”

Sejak tinggal di rumah setelah keluar dari pekerjaan lamaku, mendengar panggilan lantang pembeli kini menjadi sesuatu yang biasa kudengar setiap hari. Tanpa banyak bicara kuambilkan dua bongkah es batu dari kulkas dan kusodorkan padanya. Ia memberikan uang pecahan lima ribu di atas etalase kaca yang menjadi pembatas jarak kami berdua.

“Bu, eh.. mbak, esnya satu seribu, kan?”

“Iya,” jawabku singkat sambil mencari kembalian di kotak uang. Aduh, susah sekali cari recehan ternyata.

“Kirain si ibu yang jaga,” katanya, tiba-tiba, “Nanti saya dimarah lagi manggil mbaknya pakek sebutan ‘Ibu’..”

Spontan aku langsung tertawa. Ya, memang banyak sekarang yang ribut hanya karena masalah salah sebut panggilan. Teringat tempo hari ketika aku iseng membaca cuitan di Twitter tentang konsumen ojek online yang marah besar karena salah dipanggil “Ibu” oleh si Driver. Sampai-sampai dijabarkan dia punya nama yang memang sudah panjang saking murkanya dan menyalahkan tingkat kesopanan driver di kolom review. Walah… Padahal apalah salahnya, toh sama – sama wanita, bukan? Kecuali kalo mas Drivernya salah sebut konsumen wanita jadi “Bapak”, itu lain lagi ceritanya.

“Dek, saya sih ga masalah dipanggil ibu. Toh juga suatu hari nanti saya bakal jadi seorang ibu. Anggap saja sekarang sedang latihan.”

“lho, apa nggak malu mbak, masih muda sudah dipanggil ‘ibu’?”

“Apanya yang malu dari panggilan ‘Ibu’? Itu panggilan yang baik. Sekarang saya tanya, gurumu kamu panggil ibu juga, kan?”

“Iya, Mbak.”

“Memangnya kalo dia masih muda, lantas kamu panggil mbak?”

“Waduh, nggak sopan dong saya jadinya?!”

“Nah, itu kamu tahu,” kuberikan kembalian tiga ribu kepada pemuda tanggung itu, “Sebutan ‘Ibu’ bukan berarti kita dianggap tua. Bisa saja seseorang memanggil perempuan dengan sebutan ‘Ibu’ sebagai sikap menghormati, atau formalitas ketika bekerja. Etika kerja juga mengharuskan untuk memanggil atasan wanita dengan sebutan ‘Ibu’ meskipun kenyataannya dia bisa saja lebih muda dari bawahannya. Lagipula kenapa pula harus marah dipanggil ‘Ibu’, toh juga belum tentu ketemu orang yang sama setiap hari. Masa iya saya harus marah-marah sama semua orang hanya karena saya dipanggil ‘Ibu’, sih, dek? Bisa-bisa nggak laku-laku warung saya ini.”

Kami mengakhiri pembicaraan dengan sama-sama tertawa dan mengucapkan terima kasih. Sambil merapikan letak barang di etalase, aku merenungkan ucapan pemuda tadi. Kalau dipikir lagi, jaman sekarang orang terlalu memikirkan masalah sepele dan akhirnya berbuntut panjang. Seandainya semua bisa ditanggapi dengan kepala dingin, aku rasa masalah salah sebut panggilan tidak akan sampai diributkan oleh kebanyakan orang. Seandainya aku harus marah karena salah sebut panggilan, tentunya Emak pun bakal kumarahi karena memanggilku dengan segala panggilan aneh buatannya. Yah, itulah dunia. Ada-ada saja ceritanya.

Nyobain Micellar Water Dari Ovale

Aduduuhhh… Setelah ngalamin debat hati apakah harus ngereview ni produk, secara kalo lagi-lagi nulis tentang kosmetik dan skincare rasanya masih awam banget soal ginian. Berasa ga pede gimana gituh.. tapi daque ga tahan syekali mantemans kalo lagi banyak ide ngeblog kayak gini. Yagapapalahyah biar ga nganggur-nganggur amat heheheheee… 😋 Lagian aku emang kepingin ngereview juga kesanku setelah pake micellar water, perasaan kok ni aer viral amat yak di kalangan MUA dan beauty blogger? Berdasarkan penjabaran dari blog tetangga, micellar water adalah pembersih wajah berbahan dasar air dengan teknologi micelle , kandungan di dalamnya membantu membersihkan wajah dengan cepat, juga mencerahkan wajah. Jadi ntar pigmentasi asli wajah kita kembali seperti semula, trus bisa glowing naturally. Kalo mau yang putih instant jangan ngarep dapet dari sini yah, emang ketok mejik kali’ yaa hahahaha 😂.

Mohon abaikan backgroundnya 😂

Anyway, di postingan sebelumnya yang nyebutin list produk sehabis shopping di toko kosmetik langganan dan di Alfamart, aku nulis kalo Ovale micellar water punya formula yang lebih menyenangkan ketimbang Ovale Facial Lotion karena ga bikin ngeringis gegara perih di kulit. Ovale facial lotion sendiri emang udah jadi pembersih muka paling pertama yang aku coba sejaman SMP karena waktu itu sok ikut-ikut mamak ngebiasain skincare routine tiap malem. Itu tuh lagi masa-masanya Ovale ngetren banget sampe Mamak rada obsessed gegara efeknya emang bikin muka kinclong kayak pantat panci yang masih baru. Tapi perihnya kagak nahan bokkk untuk ukuran anak SMP kayak aku. Makenya juga cuma sebentar sih, kayaknya hitungan beberapa bulan gitu dan akhirnya pindah ke Ponds cleanser yang ada minyaknya itu loh (biasanya kalo belom dikocok kan minyaknya ada di atas air cleanser dan ada varian pink sama hijau). So I kinda have a love and hate relationship with Ovale, dan hampir ngira micellar waternya bakal ngasih efek yang sama. Cuman waktu mau belinya juga ga ada niatan sama sekali sih, wong tadinya mau nyari Sari Ayu 3 in 1 cleanser. Untungnya walaupun ga sengaja beli, it turns out well somehow karena sampe sekarang aku ga punya permasalahan berarti setelah pake produk ini. Not that special, but not that bad lah.

Penjelasan dan ingredients.

Ovale micellar water punya 2 varian hijau dan pink, tapi aku dapetnya yang pink karena yang dijual cuma itu doank 😁. Setahu aku kalo yang warna hijau itu khusus buat yang berjerawat, sementara kulit aku bertipe normal cenderung berminyak. Seperti pembersih muka dengan brightening effect pada umumnya, sehabis bersihin makeup muka berasa kinclong abezz. Ga bikin muka kaku kayak kanebo kering juga sih, jauh lebih ringan dibanding after using Ovale facial lotion. Tapi karena aku udah jarang banget makeupan dan lebih sering pake Viva Air Mawar jadi ga tau juga tuh ngaruh apa kagak efek brighteningnya. Micellar water ini juga mengandung ekstrak magnolia dan kalo kalian ga familiar dengan nama bunga ini, FYI ‘Magnolia’ itu nama lain dari ‘cempaka’ (baru tau juga aku). Menurut para penelitian yang dilakukan oleh peneliti jepang menemukan bahwa magnolia mengandung zat kimia yang dinamakan dengan “Honokiol” serta “magnolol”. Aplikasi efek magnolol dan honokiol dapat berkhasiat 1000 kali lebih besar dibanding Vitamin E sebagai antioksidan. Selain itu manfaat lainnya adalah dapat digunakan sebagai obat antiinflamasi, antibakteri, anti tumor.

Pic taken from Google

Seperti yang bisa kalian liat di foto, untuk ngebersihin makeupku yang cuma pake Wardah BB cream sama Purbasari Loose powder aku perlu 3 kapas bolak-balik dan pas dilanjut pake Viva air mawar juga masih ada sisa makeup yang keangkat. Jadi kemampuannya menurut aku ga istimewa banget. Palingan lebih cepet bersih aja ketimbang waktu pake Sari Ayu 3 in 1 cleanser, sekali usep bisa ngangkat cukup banyak kotoran. Mungkin kalo untuk makeup yang lebih berat dan full ini itu bisa ngabisin sekitar 4-5 kapas bolak-balik.

Bagian yg mengkilat itu adalah kondisi setelah sekali usap dengan Ovale Micellar Water

Ada salah satu review dari beauty vlogger yang nyebutin kalo Ovale Micellar Water ini pas di tuang ke kapas tuh berasa terlalu basah, tapi aku sih ga terlalu peduli sama hal gituan karena hal yang sama juga terjadi kalo aku lagi pake toner air mawar Viva. Untungnya micellar water yang satu ini ga punya bau yang terlalu menyengat, again not like its sister si Ovale Facial lotion. Pokoknya aku cukup apresiatif sama Ovale yang akhirnya mengeluarkan produk micellar water karena dulu saking takutnya sama Ovale aku kayak kesel gitu setiap liat ni produk dipajang di etalase. Review-review para blog tetangga bilangnya itu ‘sensasi rasa menthol yang seger’. Oh-em-ji kalo itu dibilang seger aku harus gimanah kakakkk??? 😂 Harganya masih terbilang mahal untuk ukuran pembersih muka, tapi affordable lah kalo di bandingin sama harga makeup remover yang dapetnya dikiiiitt banget dengan harga yang sama atau bahkan lebih mahal. Apalagi makeup remover kan ada minyaknya dan aku lumayan males mau nyoba lagi produk yang banyak mengandung minyak.

Yang aku suka dari Ovale Brightening micellar cleansing water;
1. Formulanya lebih bersahabat kalo dibandingin sama pendahulunya, Ovale Facial Lotion.
2. Ga berbau menyengat, lumayan cepet ngangkat kotoran tapi masih butuh sekitar 3-4 kapas. Cuman lebih enak dibanding pembersih yang biasa aku pake (Sari Ayu 3 in 1 cleanser)
3. Termasuk gampang dicari karena bisa didapat di drugstore (aku dapetnya di Alfamart)
4. Karena hypoallergenic dan dermatologically-tested, jadi aman dipake ke daerah yang sensitif kayak bagian mata dan bibir. Dan pas aku apply juga ga bikin mata perih sih, jadi cukup terbukti klaimnya.

Yang ga aku suka;
1. Mungkin untuk jajaran micellar water yang sama, Ovale micellar water ini ngasih harga yang relatif murah (Rp 32.000,- untuk 200 ML jadi masih terjangkau lah). Tapi kalo buat aku masih mahal karena udah terbiasa pake Sari Ayu 3 in 1 cleanser yang selisih harganya 10-12rban. Trus, sekarang udah jarang juga kan makeupan jadi terbilang mubadzir kalo mau beli pembersih muka seharga segitu.
2. Kemampuannya ga istimewa-istimewa banget jadi belum tersugesti buat repurchase. Masih cukup standard sebagai pembersih muka.

Bandrolannya mungkin beda-beda tergantung dari tempat doi di beli dan sampe sekarang masih lumayan penuh soalnya jarang dipake. Bolehlah yaa sebagai micellar water pertama ga bikin aku kapok nyoba micellar water lagi. Tapi mungkin lain waktu aku bakal coba dari brand lainnya supaya bisa ngasih review yang lebih akurat mengenai produk ini. Doain aja dapet duit segepok yee wkwkwk 😂.

Bukit Sakura Lampung, Nuansa Jepang di Bumi Tapis Berseri

Ga nyangka bisa bikin 4 postingan di awal bulan, terharu sekalihhh *banjir air mata. Udah lama banget aku ga seproduktif ini yah hehehehe… btw beberapa kali aku ketemu liputan tentang keindahan bunga yang mirip Sakura di Surabaya. Menurut si empunya cerita sih saking indahnya jadi ga perlu jauh-jauh lagi ke Jepang pas musim semi buat liat Sakura mekar. Aduhh akuh yang suka jejepangan ini jadi ingin sekali liat Sakura lagi kayak waktu ke Bukit Sakura Lampung. Hahaha 😜😜

Salah satu spot selfienya

Trademark Bukit Sakura dengan lampu neon.

Ada yang sudah pernah ke Bukit Sakura di daerah Langkapura, Tanjung Karang, Bandar Lampung? Dari Teluk Betung cuma makan waktu 20-30 menit aja untuk sampai ke lokasi wisata ini yang lumayan tinggi letaknya, karena waktu kesana bareng teman-teman ternyata harus masuk dulu ke dalam daerah yang rimbun dengan pepohonan. Wajar sih ya makanya dikasih nama Bukit, dari area parkir hingga masuk ke Bukit Sakuranya lumayan bikin ngos-ngosan kalo ditempuh dengan jakil alias jalan sikil 😂. Tapi jalan masuk ke lokasi masih sangat jauh lebih mudah ketimbang waktu ke Muncak Tirtayasa di Lempasing, Teluk Betung Selatan. Dan karena masih rada-rada viral di antara para warga lokal sekitaran Bandar Lampung makanya lumayan gampang untuk pesen transportasi online seperti Grab/Gojek buat kalian yang ga punya kendaraan pribadi. Dua kali aku ke Bukit Sakura perjalanannya via GrabCar dan biayanya sekitar Rp 30,000-35,000 kalo ga salah. Tapi harganya beda-beda yah tergantung dari posisi jemputnya. Jadi silahkan pilih tempat lokasi yang lumayan deket kalo mau ngurangin tarif taksi onlinenya.

Area kafe dan rumah panggung.

Tadinya waktu pertama kali ke Bukit Sakura lumayan skeptis, beneran ga tuh ada Sakuranya? Tahu info soal tempat wisata ini juga pas ngeliat foto salah satu supervisor tempat kerja dulu yang pose pake hanbok sambil bersandar di pagar kayu. Nah, salah satu fasilitas yang disediakan layanan Bukit Sakura Kemiling adalah penyewaan baju tradisional Jepang dan Korea sebagai properti foto. Terakhir yang aku tahu, biaya sewanya sekitar Rp 25.000,- untuk Kimono dan Rp 35.000,- untuk hanboknya masing-masing per 30 menit. Tapi karena belum pernah coba buat nyewa jadi ga tau deh rasanya pake baju tradisional dari 2 negara di Asia Timur itu. Sebenarnya ga masalah sih, kalo mau dapetin foto yang sesuai dengan tema Jepang ya tinggal pake blouse atau dress potongan Kimono terus tinggal cari aja spot foto sama bunga Sakura yang diinginkan. Di sepanjang area Bukit Sakura Kemiling full sama pohon Sakura kok, walaupun ga serimbun yang kita liat di Drama Jepang sampe guedeee banget itu. Yahh namanya juga lokasi kekinian yang masih baru, jadi mungkin umur pohonnya juga masih muda banget. Tapi nuansa warna pink bunga Sakuranya bakal bikin kalian betah deh lama-lama disini, apalagi kalo suasanannya ga terlalu ramai dan anginnya masih bersahabat. Saran aja ya, kalo kesini mendingan bawa jaket atau pakai baju yang sedikit tebal, soalnya angin lumayan kencang jadi bawaannya dingin beud.

Suasana kafe dari bagian dalam.

Selain belasan pohon Sakura yang bisa kalian ajak jadi teman foto bareng (kalo ga punya pasangan 😂), tersedia juga pondok-pondok kecil buat duduk santai, jembatan buatan plus balon udara sebagai dekorasi, area memanah dengan harga tiket Rp 20.000,- untuk kesempatan 4 kali memanah, outdoor cafe serta pertunjukan live music. Penyanyinya punya suara yang oke lho, jadi puas deh nongkrong disini. Aku kurang tau berapa kisaran harga makanan dan minuman yang dijual di cafenya, kayaknya sih sekitar Rp 10.000,- s/d Rp 25.000,-. Terus tiket masuk perorangnya juga rada lupa-lupa inget bayar berapa. Mungkin sekitar Rp 10.000 s/d Rp 30.000 tergantung kendaraan yang kalian pakai. Yaa pokoknya siapian aja budget agak banyakan biar ga malu gegara ga dibolehin masuk. Tapi barang bawaan ga ada yang dipungut biaya kok, jadi mau bawa bekal juga ga masalah.

Anyway, kalo dateng ke Bukit Sakura pas sore atau malam hari sebaiknya hati-hati ya. Terutama buat yang bawa motor mendingan ga usah pulang malem-malem banget soalnya lumayan gelap dan sepi. Kalo pulangnya ke arah Teluk Betung kan pasti tahu banget jalur jalannya ngelewatin Summit Bistro dan Bukit Mas yang sepinyaaa kayak ga ada kehidupan. Yang pake jasa transportasi online pun lebih baik pulangnya sebelum jam setengah 9 malem, coz kalo jam segitu udah susah mesen mobil/ojek. Sumpah ya, aku baru nyampe jam 11 malem gegara susah banget dapetin driver yang mau jemput ke Bukit Sakura Kemiling karena tujuan perjalanannya jauh dan waktu itu udah jam 9 malem. Itupun pake acara kena guyur hujan juga. Jadi sebaiknya hati-hati ya, mendingan berangkatnya serombongan aja kalo bisa biar pulangnya ntar konvoy atau pake mobil pribadi.

Kalo menurut aku sih lebih bagus ambil foto bunga Sakuranya pas menjelang sore, di mana matahari masih terang tapi ga bikin panas. Anginnya kan lumayan gede jadi kalo sore suasananya jadi adem. Yang aku suka dari tempat ini adalah pemandangan dari atas bukitnya yang bersih tanpa gedung tinggi. Kalo malam hari kelihatannya indah banget lho jadinya, soalnya yang keliatan kan cuma lampu-lampu dari hamparan kota yang jauh. Oh iya, kalo malam hari suasana bukit Sakura jadi penuh sama lampu neon warna-warni. Tapi jujurnya aku kurang suka karena jadi nutupin warna bunga sakuranya. After all, kalo ada yang kebetulan pengin liburan ke Lampung jangan lupa mampir ke sini yah.

(P.S. : Beberapa foto di atas aku ambil dari official Instagram accountnya Bukit Sakura Lampung dan hashtag #bukitsakurakemiling. Thanks buat teman-teman yang fotonya aku pinjam, semoga ga marah ya aku pajang-pajang disini hehehehe… Anyway, kalo ada yang mau bikin reservasi di sini bisa liat infonya di salah satu artikel blog yang aku dapet di Google.)