Warung Ani : Di sebut “Ibu”, kok Marah?

Hari ini cuaca cukup panas di Kampung Tridharma. Beberapa orang datang membeli es batu demi melepas dahaga setelah bekerja di Ladang, atau demi menghalau rasa panas matahari yang hampir berada di puncak kepala. Tak jarang sekali datang orang bisa membeli lebih dari dua bongkah. Biar mantul, kata mereka. Aku mendapat giliran menjaga warung sekitar pukul 11 siang karena adik hendak makan siang, sementara Emak tengah membersihkan halaman depan rumah. Kebetulan memang rumput liar sudah mulai tumbuh mencapai lutut kaki orang dewasa, dan Emak sudah gatal rasanya ingin memegang cangkul kebanggaannya. Maklum, Emakku itu sangat aktif di usianya yang berkepala lima. Mana mau dia diam di rumah tanpa menggerakkan badannya untuk bersibuk sana-sini. Untungnya persediaan es batu di kulkas masih banyak, jadi kalau-kalau beliau juga kepingin minum es teh tentu bisa langsung disiapkan.

Pada saat itu seorang bujang kurus berkaus singlet tipis memarkirkan motor di depan warung, menghampiri seraya memanggil dengan suara yang lumayan keras;

“Bu, es batunya dua biji!”

Sejak tinggal di rumah setelah keluar dari pekerjaan lamaku, mendengar panggilan lantang pembeli kini menjadi sesuatu yang biasa kudengar setiap hari. Tanpa banyak bicara kuambilkan dua bongkah es batu dari kulkas dan kusodorkan padanya. Ia memberikan uang pecahan lima ribu di atas etalase kaca yang menjadi pembatas jarak kami berdua.

“Bu, eh.. mbak, esnya satu seribu, kan?”

“Iya,” jawabku singkat sambil mencari kembalian di kotak uang. Aduh, susah sekali cari recehan ternyata.

“Kirain si ibu yang jaga,” katanya, tiba-tiba, “Nanti saya dimarah lagi manggil mbaknya pakek sebutan ‘Ibu’..”

Spontan aku langsung tertawa. Ya, memang banyak sekarang yang ribut hanya karena masalah salah sebut panggilan. Teringat tempo hari ketika aku iseng membaca cuitan di Twitter tentang konsumen ojek online yang marah besar karena salah dipanggil “Ibu” oleh si Driver. Sampai-sampai dijabarkan dia punya nama yang memang sudah panjang saking murkanya dan menyalahkan tingkat kesopanan driver di kolom review. Walah… Padahal apalah salahnya, toh sama – sama wanita, bukan? Kecuali kalo mas Drivernya salah sebut konsumen wanita jadi “Bapak”, itu lain lagi ceritanya.

“Dek, saya sih ga masalah dipanggil ibu. Toh juga suatu hari nanti saya bakal jadi seorang ibu. Anggap saja sekarang sedang latihan.”

“lho, apa nggak malu mbak, masih muda sudah dipanggil ‘ibu’?”

“Apanya yang malu dari panggilan ‘Ibu’? Itu panggilan yang baik. Sekarang saya tanya, gurumu kamu panggil ibu juga, kan?”

“Iya, Mbak.”

“Memangnya kalo dia masih muda, lantas kamu panggil mbak?”

“Waduh, nggak sopan dong saya jadinya?!”

“Nah, itu kamu tahu,” kuberikan kembalian tiga ribu kepada pemuda tanggung itu, “Sebutan ‘Ibu’ bukan berarti kita dianggap tua. Bisa saja seseorang memanggil perempuan dengan sebutan ‘Ibu’ sebagai sikap menghormati, atau formalitas ketika bekerja. Etika kerja juga mengharuskan untuk memanggil atasan wanita dengan sebutan ‘Ibu’ meskipun kenyataannya dia bisa saja lebih muda dari bawahannya. Lagipula kenapa pula harus marah dipanggil ‘Ibu’, toh juga belum tentu ketemu orang yang sama setiap hari. Masa iya saya harus marah-marah sama semua orang hanya karena saya dipanggil ‘Ibu’, sih, dek? Bisa-bisa nggak laku-laku warung saya ini.”

Kami mengakhiri pembicaraan dengan sama-sama tertawa dan mengucapkan terima kasih. Sambil merapikan letak barang di etalase, aku merenungkan ucapan pemuda tadi. Kalau dipikir lagi, jaman sekarang orang terlalu memikirkan masalah sepele dan akhirnya berbuntut panjang. Seandainya semua bisa ditanggapi dengan kepala dingin, aku rasa masalah salah sebut panggilan tidak akan sampai diributkan oleh kebanyakan orang. Seandainya aku harus marah karena salah sebut panggilan, tentunya Emak pun bakal kumarahi karena memanggilku dengan segala panggilan aneh buatannya. Yah, itulah dunia. Ada-ada saja ceritanya.

Becawo Bahasa Lampung

Suwatu panas paman apakku betanyo jamo nyak,

“Ulah nyow niku dapok becawo bahasa Inggris, kidang mak dapok becawo bahasa apakmu? Enowlah artino niku percuma belajar bahasa ulun lamun niku mak reti bahasamu.”

Masalahno, layin nyak mak dapok becawo bahasa Lampung. Amun nyak mak dikayun Apak cawo lampung, yu nyak meneng wah. 😂😂 bangek becawo bahasa Indo jogow pikerku. Dang pusing2 miker ago ngejelaskan, sai penting amun ulun cawo lampung jamo nyak pasti reti.

Mak becawo lampung layin berarti mak dapok. Iyu, kan?

(Suatu hari paman bapakku bertanya pada aku,
“Kenapa kamu bisa bicara bahasa inggris, tapi tidak bisa bahasa bapakmu? Itu artinya percuma kamu belajar bahasa orang kalau ga ngerti bahasamu (maksudnya bahasa bapak)”

Masalahnya, bukan aku ga bisa bicara bahasa Lampung. Kalau aku ga disuruh bapak ngomong lampung, ya aku diem lah. Enak ngomong bahasa Indonesia aja pikirku. Jangan pusing-pusing mikir mau menjelaskan, yang penting kalo orang ngomong sama aku pasti ngerti.

Ga ngomong Lampung bukan berarti ga bisa. Iya kan?)

— Tetiba pengin bikin post ginian gegara liat blog orang pake bahasa Lampung. Ini lampung dialek Nyow, soalnya Ayah aku dari Penumangan Lama yang orang-orangnya berbahasa Lampung dialek O/Nyow. Mungkin kata-katanya masih ada yang sedikit-sedikit bahasa Indonesia dan yang ngerti dengan bahasa Lampung terutama dialek ini pasti tau perbedaanku yang ga terlalu fasih berbahasa lampung dengan kefasihan bahasa yang benar. Sejujurnya, wajar kalo ditanya gitu dan aku juga setuju sih. Tapi seperti yang aku tulis di atas, ga ngomong bahasa Lampung bukan berarti ga bisa. Aku cuma ga fasih, tapi kalau ada yang ngomong pake bahasa Lampung baik itu dialek A maupun O aku pasti ngerti. Hahaha. —