Jurnal Tentang Perubahan : Isi Tas

Keseharian dan Kebiasaan Yang Mempengaruhi Isi Tas..


Sebenarnya, sadar dengan isi tas yang menumpuk itu adalah hal yang biasa terjadi. Pas jaman sekolah dulu, tentu yang dibawa ya seputar buku dan alat tulis. Begitu masuk kuliah, bertambah jadi sedikit-sedikit harus bawa charger handphone dan earphone, atau laptop, atau USB drive berbagai ukuran besar daya penyimpanan. Lebih heboh lagi waktu masih bekerja di mall, segala perintilan makeup jadi satu dalam pouch lalu masuk ke dalam tas berikut dengan tissue pack, minyak kayu putih atau freshcare, parfum, kacamata, vitamin rambut, case lensa kontak, dompet dan tidak lupa handphone. Saking lengkapnya seisi tas selama kerja disana dulu, begitu kena musibah kejambretan ya hilang segala barang-barang penting. Tapi ya begitulah…. Live must go on kan?

Ketika Musibah Dan Pengalaman Membuat Kita Mulai berpikir..

Setelahnya, kejadian yang untungnya sampai saat ini cuma sekali terjadi (dan amit-amit jangan sampai kejadian lagi) bikin aku mikir lagi tentang apa yang sebenarnya harus dibawa ke dalam tas saat bepergian. Awalnya sih karena masih kebawa rasa paranoid, kemana-mana hampir nggak pernah bawa dompet atau pouch makeup. Uang juga cuma seperlunya aja, dan kadang smartphone ditinggal di kosan. Tapi yah, namanya juga cewek. Mana betah kalau isi tasnya nggak lengkap. Akhirnya kembali lagi deh miss bedak plus lipstik, miss kacamata ala kekinian, dan dompet yang gemuk diisi uang cash. Mikir sih mikir, penting banget harus dibawa? Tapi dasarnya sudah kebiasaan, tuman, kalau kata orang, akhirnya nyemplung dah isi barang-barang yang sama sepertiĀ  sebelumnya ke dalam tas. Yang katanya trauma jadi kembali lagi beraksi.

Kemudian, aku mencoba kerja di pasar lokal daerahku. Dapat kerjaan di toko grosir pakaian, yang punya kebetulan baik banget memperbolehkan aku tinggal di rumahnya. Selama 1,5 bulan bekerja disitu, ada 10 hal yang wajib aku bawa : Handphone, bedak, lipstik, pensil alis, sisir, kaca, lotion, parfum, dan mukena. Terakhir tinggal uang yang cuma sebagai pelengkap, karena makan minum sudah ditanggung bos. Di luar dari 10 barang itu, aku hampir nggak pernah bawa hal lain lagi. Anehnya justru nggak ada masalah, nggak merasa ada yang kurang. Dibanding dulu yang mungkin kerasa aneh kalau makeup nggak dibawa satu pouch lengkap, atau handphone tanpa earphone, vitamin rambut supaya rambut nggak berantakan kalau keluar rumah, dan bahkan tissue pack bisa beranak jadi dua atau tiga di dalam tas.

Awalnya aku nggak merasa hal ini penting dan cuma mencoba untuk go with the flow aja. Toh, kebiasaan kan ga bisa diubah dalam sekali atau dua kali tindakan. Kalau semisal aku dapet kerjaan di Retail lagi atau jenis kerjaan lain yang bakal harus bawa makeup lengkap, bisa jadi isi tasku bertumpuk seperti sebelumnya. Karena itu, belakangan ini aku berusaha banget untuk strict dengan kebiasaan baruku yang sekarang; menyederhanakan isi tas.

Kenapa Harus memilih dan Memilah Isi Tas Agar Sederhana?

Kalau ditanya kenapa, yaa jawabannya jelas. Karena seharusnya kita cuma bawa yang perlu aja kan? Kalau dipikir lagi, memang dari dulu juga sebenarnya makeup lengkap cuma diperlukan selama jam kerja. Selebihnya ya bebas, nggak perlu harus pakai makeup segitu full di luar jam kerja. Hanya aja, kebiasaan dan gaya hidup membuat segala sesuatu harus ada dan tersedia sehingga sulit memilah mana barang yang lebih penting untuk dibawa. Kenyataannya, isi tas jadi nggak pernah selaras dengan kebutuhan asli. Misalnya aja, sudah pakai softlens demi fashion masih juga bawa kacamata. Atau Lipstik yang rasanyarasanya nggak afdol kalau cuma punya 1 warna. Padahal, Isi tas sudah segitu seabreknya pun tetep harus pakai dompet yang modelnya besar biar macam orang berduit. Nah, jadi malu sendiri kalau ingat aku yang waktu itu.

Itulah kenapa aku rasa mengevaluasi dan menyederhanakan isi tas sendiri merupakan hal yang penting, supaya kita bisa menekan perilaku konsumtif dan bersikap lebih efisien. Sedikit – sedikit aja sih, pelan – pelan mulai mengeluarkan barang yang ga perlu dari dalam tas. Pilihan tas yang aku pake pun sekarang jauh lebih kecil dari yang selama ini biasa aku pake, biar lebih compact dan ga ribet. Jadi, sekarang ini list barang yang aku biasa bawa di dalam tas;

1. Bedak, lipstik, kaca.
Well, rasanya hampir mustahil kalau 3 benda ini nggak jadi benda wajib yang mesti di bawa. Tapi setidaknya aku bisa tahan untuk nggak bawa mascara, eyeliner dan pensil alis. Selain karena mascara dan eyeliner sudah jarang di pakai, pensil alis juga dirasa cukup kok dipakai sekali pas sebelum berangkat. Bedak dan lipstik juga aslinya dibawa buat jaga-jaga aja, siapa tahu makeup luntur kena keringat.

2. Tissue pack
Karena aku gampang keringetan dan kena flu. Ini benda wajib yang kayaknya susah lepas dari tas.

3. Kacamata
Walaupun nggak minus, mataku gampang berair kalau kena debu dan angin kencang. Jadi gunanya kacamata sih sebenarnya sebagai pengganti helm.

4. Card holder
Isinya E-KTP dan uang seperlunya. Fungsinya sebagai pengganti dompet aja sih, biar ga makan tempat dan mengurangi kebiasaan membawa uang lebih.

5. Lotion dan parfum
As always, supaya tetap wangi dan bersih aja. Terutama untuk kulit tangan. Kalau kaki, aku biasa pakai kaus kaki sekarang. Biar nggak belang kena sinar matahari kalau keluar rumah.

6. Handphone dan earphone (Di foto nggak ke-capture karena lupa)

List barang-barang di atas alhamdulillah bisa muat ke dalam satu tas kecil dan semuanya kepake sesuai kebutuhan. Kadang aku mencoba untuk nggak membawa kacamata dan earphone, biar ga merasa butuh banget. Intinya cukup menyesuaikan jumlah barang yang kita bawa dengan apa yang mungkin dibutuhkan selama keluar rumah, jadi bisa membiasakan diri untuk hidup lebih efisien dan minimalis. Aku belajar dari beberapa kali melihat video di youtube tentang minimalism life dimana dengan mensortir kepemilikan barang sesuai kebutuhan sebenarnya lebih menyenangkan dan melegakan ketimbang kebiasaan shopping atau mengoleksi barang untuk melepas stres. Lebih sedikit barang yang kita punya justru bikin hidup lebih tenang, karena kebanyakan orang membeli sesuatu lebih karena laper mata, kebiasaan, atau demi gengsi pribadi yang nggak diperlukan. Padahal setelah dibeli juga belum tentu dipakai terus, atau bahkan malah nggak dipakai sama sekali.

Meninggalkan Ketakutan Akan, “Aduh, Aku Nggak Bisa Kalau Nggak Bawa..”

Guys, memang terkadang hal sepele semacam isi tas sering luput dari pandangan. Orang kebanyakan berpikir, “Lah, kalo nggak ada, pasti susah.” Padahal dunia juga nggak bakal kiamat di tempat cuma gara-gara nggak bawa satu atau dua benda. Pernah kok sekali dua kali aku lupa bawa handphone, dan hidup ini baik-baik saja. Kalaupun ada yang menghubungi, paling tinggal dikasih tahu aja “Maaf, tadi lupa bawa hp,” And that’s it. Nggak pernah tuh sampai ada masalah berarti. Menurutku ini bisa jadi year’s goal yang bagus untuk mengubah perilaku diri sendiri yang terbiasa hidup “harus ada”, toh nggak ada salahnya untuk lebih praktis sama isi tas. Tertarik untuk nyoba?

Rasisme di Indonesia itu Rahasia Umum, Lho

Sebelumnya, seperti post yang pernah aku buat jauuuuhhh sebelum ini (Dan masih ada kaitan yang sama dengan topik SARA), perlu dicatat bahwa aku sama sekali ga berniat membahas topik seperti ini sebagai pancingan emosi atau provokasi. Jujur aja, hal-hal berbau SARA jadi salah satu topik yang paling aku hindari karena latar belakang keluargaku yang berasal dari komunitas agama dan budaya yang berbeda. Sampai sekarang pun kalau ngebahas orang tuaku yang satunya bersuku Lampung dan lainnya Bali, masih suka di tanya lagi dengan pertanyaan yang lebih kepo; “Terus ibunya Islam, kan?”, “Terus agama kamu apa?”, “Loh, orang Lampung toh, tapi kok kulitnya Hitam?” Dan sekawan-kawannya. Terkadang aku heran sendiri, kok orang lain bisa sampe segitunya ngasih pertanyaan ngeselin begitu kalo aku cerita soal background keluargaku. Bahkan dulu waktu awal kerja, karena warna kulitku gelap banget dan rambutku keriting sampai disangka orang Papua. Udah kenyang banget sebenarnya denger pertanyaan semacam ini dari kecil, tapi lama-lama kepingin curhat juga. Apalagi kemarin-kemarin sempet viral soal Rasisme yang berkaitan dengan Masyarakat Papua. Dari sini aja kita bisa nilai donk, bahwasanya Indonesia yang digadang-gadang negeri Bhineka Tunggal Ika yang menghargai perbedaan aslinya lekat dengan Rasisme?

I don’t know why people are so into white Skin and straight hair and perfect body shape, like, cuma karena beberapa komunitas suku tertentu lebih dominan dengan warna kulit dan postur tubuh tertentu bukan berarti mereka punya alasan untuk ngejudge orang lain yang perawakannya berbeda dengan dia atau komunitas tersebut. Like me, for example, cuma karena warna kulit aku gelap, bibir aku tebal dan rambutku keriting, hampir 50% orang di tempat kerjaku dulu selalu mengaitkan itu semua ke daerah Timur Indonesia. Oo ya tapi tentu aja, aku ga punya masalah apa-apa sih sama orang Indonesia timur. Toh kita punya sejumlah nama penyanyi Indonesia dari tanah Timur yang suaranya bikin Iri. Rambut mereka keriting? Kulit Mereka Gelap? I’m sorry deh, tapi kalo kamu masih demen denger lagu-lagu internasional berarti bego banget kalo sampe ngejudge warna kulit dan penampilan. Cuma ya sebel aja, memangnya kenapa kalau aku punya perawakan tubuh yang begini? Ada masalahnya?

Orang Indonesia selalu bangga banget dengan keberagamannya, selalu antusias kalau ada orang sebangsa dan setanah air sukses secara Internasional terus heboh bilang, “Dia sudah bawa nama Indonesia, kebangsaan Bangsa.” But actually, nilai kebangsaan kita udah jauh banget bergeser dari yang seharusnya kita junjung. Ini juga ngaruh ke masalah keagamaan lho, karena sekarang ini semakin banyak perdebatan agama yang muncul sampai kasusnya membesar seperti balon yang nunggu di tusuk pake jarum. Komunitas internasional sebenarnya sudah familiar dengan tagline milenium Indonesia “Negara penuh kontroversi SARA”, tapi kita justru gembar-gembornya penuh semangat. Makanya aku suka ketawa, kalau ada masalah di negara lain semua pasang aksi bersimpati. Terus masalah kita sendiri, gimana ngelarinnya?

Baru-baru ini aku sering nonton video di channel Asian Boss yang ngebahas topik-topik soal Indonesia. Netizennya banyak yang komen, “Kok bahasannya soal agama lagi?”, “Kok bahasnya soal hijab lagi?”. Aku malah ngerasa aneh sama pertanyaan mereka, wong Itu bukan salah crew Asian Bossnya lho padahal. Orang Indonesia sendirilah yang membuat negaranya selalu panas soal perdebatan agama. Pengalamanku pribadi udah jadi contoh paling kongkrit, karena pertanyaan “Tapi Ibunya Islam, kan?” Udah aku dengar dari kecil tanpa absen. Padahal emangnya kenapa kalau Ibu aku non-muslim, salah? Mainnya pada kurang jauh nih berarti ya.

Pada akhirnya, apakah kasus-kasus seperti yang terjadi di Papua itu bakal jadi yang terakhir? Jawabannya; none in the million years. Lebih baik pikirin agenda terbesar buat bangsa kita supaya belajar untuk menyampaikan sesuatu yang proper di tempat dan waktu yang proper pula. Kalo ga suka penampilan orang lain, liat dulu diri anda di kaca yang gede. Emang anda itu lebih baik? Inget aja, dari 5 jari di tangan cuma 1 biji yang dipake buat nunjuk ke orang. Jangan lupa arah 4 jari yang disimpen, bukannya justru nunjuk ke diri sendiri? Jadi kalo kamu nunjuk seseorang Hitam, jelek dkk pake 1 jari, 4 jari lainnya sebenarnya nunjuk ke diri kamu sendiri lho. Yakin mau bully orang terus? Indonesia itu bukan cuma diisi sama cewek ala Korea yang putih kayak susu atau Oppa ganteng yang mukanya licin sampe nyamuk pun kepeleset. Indonesia juga bukan cuma hunian khusus kaum Muslim sampe ada ritual keagamaan lain harus tergeser dan terasing. Back to those thousand years before Islam came to Indonesia, Nusantara masih menganut paham animisme yang tradisinya masih lestari tuh sampe sekarang. Rasisme di Indonesia itu terlalu biasa sampai kita sendiri ga pernah sadar bahwa hal ini adalah sebuah masalah besar. Pokoknya, mengharapkan Indonesia jauh dari kata Rasisme itu seperti ngarep kena amnesia attack kalo ketemu mantan; close to impossible.

Purbasari Ultra-Smooth Brow Liner, How is it?

Kayaknya aku musti nyetop belanja makeup online deh.. tapi akhir-akhir ini emang rasanya guateeelll banget kepingin nyoba makeup product yang belum pernah aku jamah sebelumnya. Seperti Purbasari Ultra-Smooth Brow liner ini yang denger-denger dirilis Oktober 2018 lalu, bikin penasaran aja pas nongol di recommended list toko yang aku follow di Lazada. Sempet berhari-hari galau mau beli apa kagak coz pensil alis Wardah yang biasa aku pake juga masih utuh gitu, tapi terlalu tergoda ngeliat packagingnya. Yowes, aku beli aja barengan sama Emina Sun protection cream SPF 30 karena kebetulan kepingin beli sunscreen.

Dibungkus kotak karton glossy dengan beberapa keterangan seperti shade color, ingredients dan cara pemakaian, aku pilih warna soft black soalnya rada takut yang coklatnya ga nyatu sama warna alis aku. Lagian kalo pake warna hitam kan emang sesuai aja sama warna rambut asli, ngapain pake coklat segala. Pertama kali aku keluarin produknya dari kotak, yang terpikir “Wuidih panjang amat?!” Karena ada tambahan spoolie di opposite side pensil alisnya, jadi keliatan panjang. Well… Untuk ukuran harga Rp 35.000-an ke atas (harga online) udah termasuk murah kan tuh? Spoolie-nya juga lembut dan lumayan enak dipake buat ngeblend pensil alis. Sedangkan eyebrow linernya sendiri berupa automatic pen yang cukup diputer langsung keluar pensil alis berbentuk segitiga. Agak beda ya sama automatic brow pencil yang biasa aku liat kayak punya Mustika Ratu atau Maybelline. Tapi nilai plusnya adalah doski murah beud dan kemasannya badai kayak mahalan punya.

Seperti khasnya Purbasari, kemasannya pasti kalo ga hitam ya putih. Yang ini kebetulan kemasannya berwarna hitam glossy dengan label Purbasari berwana keemasan (label jenis produk ditulis pake warna putih) dan ada keterangan tanggal kadaluarsanya juga. Walaupun aku ga tau apakah browliner ini bakal jadi item favorit atau kagak, kayaknya kalo masuk pouch makeup rada-rada nambah gengsi ya bok wkwkwkwk šŸ˜‚šŸ˜‚. Kayaknya juga ni pensil alis masuk ke seri Hydra Purbasari yang juga mengeluarkan produk compact powder dan BB cream. Aku belum tau berapa banyak jumlah produk yang termasuk ke dalam seri Hydra ini, tapi kalo pensil alisnya udah sebagus ini mungkin produk yang lain worth buat di coba.

Ga ada masalah berarti sih pas pengaplikasiannya, tapi masih termasuk susah menurut aku. Mungkin karena udah biasa pake pensil alis konvensional yang runcing kayak bambu para pejuang 45 (beh edan!) Makanya berasa kurang nyaman dengan bentuknya yang segitiga. Masalah intensitas warna sih tergantung pemakaian masing-masing ya, tapi warna soft blacknya ga sampe bikin merong kayak pake arang kalo diaplikasiin pelan-pelan. Ada yang bilang katanya ada ashy color di warna soft black ini tapi aku ga nangkep tuh, cuma kalo pada seneng makeup natural mungkin doi bisa jadi pilihan yang bagus. Kemarin sempet aku coba pake karena harus pergi ke Bank ngambil uang (di daerahku ga ada ATM 24 jam untuk BCA), masih harus dibantu pake pensil alis Wardah biar dapet presisi yang HQQ. Kayaknya kalo buat aku lebih cocok ni pensil alis dipake buat ngisi arsiran daripada ngebingkai, Soalnya ga gampang ngegumpal kayak si Wardah.

Warnanya kurang keluar kalau di foto, tapi cocok dipakai harian karena ga merong.

Aku kurang tau berapa kisaran harganya kalo di Toko, soalnya belum pernah cari produk Purbasari di toko atau pasar. (waktu kerja juga ga pernah make Purbasari sih). Kesimpulanku untuk produk ini;

Yang aku suka;
1. Tampilannya bagus kayak bukan produk lokal. Personally aku suka dengan tampilan produk yang ga neko-neko kayak gitu, kesannya berasa “Mahal” kan yah.
2. Untuk ukuran automatic eyebrow liner, menurutku kualitasnya bagus dan harganya murah. Kalo pake pensil alis Wardah kadang bikin sebel sama teksturnya yang gampang menggumpal, tapi Purbasari brow liner ini ga separah si Wardah. Masih enakan lah kalo diblend dan karena blendernya berupa spoolie yang lumayan lembut jadi makin puas sama produk ini.
3. Warnanya ga merong jadi kesannya natural. Cuma kayaknya jadi tricky kalo mau bikin yang agak tebelan. It’s ok sih sebenarnya, sekarang ini aku lagi kepingin pake alis yang ga terlalu merong biar makeupnya ga sangar-sangar amat.
4. Praktis karena ga perlu di raut kayak pensil alis biasa dan ga ada bau kayu yang menyengat. Kayaknya ini memang nilai plus dari semua automatic brow liner yang pernah ada.

Yang ga aku suka;
1. Kayaknya ni pensil alis masih termasuk produk yang jarang ada di pasaran. Walaupun aku belun survey ke pasaran, tapi sebenarnya produk-produk seperti Sariayu, Mustika Ratu atau Purbasari itu jarang banget bisa aku temuin di daerahku karena semua toko kosmetik rata-rata didominasi sama produk Wardah dan Pixy. Well… Aku tetap harus sabar kalo mau repurchase karena bisanya cuma lewat online.
2. Perlu penyesuaian untuk menggunakan automatic brow liner kayak gini. Aku baru bener-bener ngerasa nyaman makenya setelah beberapa kali pengaplikasian. Terus, harusnya sih bentukannya jangan segitiga gitu sih.. kalo bisa seharusnya lebih pipih atau sekalian bulet kayak eyeliner. Mungkin buat ngebedain kali ya.
3. Isinya ga sebanyak pensil alis biasa kurasa. Yahh… Udah wajar sih.

Apakah aku bakal repurchase? Sure, tapi kalo emang perlu – perlu banget. Gimana yak, mesti beli via online tuh rada ribet dan makan waktu deh. Dan aku masih punya pensil alis Wardah yang utuh juga jadi agak sayang kalo ga kepake. Tunggu abis dulu kali yah hahaha.

Sariayu Putih Langsat Peel Off Mask

Akh… Akhirnya aku punya bahan buat review masker. Sebelumnya cuma muter – muter di masker alami dari endapan air beras sama madu+kopi aja, sekarang aku bisa ngeshare mainan baru. And as always, Sariayu emang brand paporit akyu deh.. aku ga tau lho kalo Sariayu ada peeling mask yang modelnya gel transparan. Biasanya kalo beli produk dari Brand ibu pertiwi ini palingan pensil alis, eyeshadow tricolor sama 3 in 1 cleansernya. Dulu pas masih jaman lipstik mini Sariayu meraja lela pasti ga bakal ketinggalan buat nyetok, eh.. sekarang udah ga ada. Duduhh rasanya sedikit excited buat ngeshare ni produk hehehe…

Sariayu Peel of mask Putih Langsat ini konsistensinya berupa gel yang lebih cenderung keruh ketimbang transparan dan lebih cair dari yang terlihat. Dibilang lengket banget sih ga segitunya, tapi kalo nempel di rambut emang susah banget buat dibersihin. Kalo diaplikasiin di muka sedikit kerasa sensasi dingin, dan di mukaku entah kenapa pasti ada rasa sedikit perih setelah dinginnya hilang. Tapi ga seperti peeling mask lain yang pernah aku coba (you know lah yang warnanya hitam itutuhh), ngaplikasiin di muka gampang banget dan ga seberat yang aku kira. Pake jari aja juga ga masalah (tapi jarinya harus bersih yahh) dan mukaku fine – fine aja setelah rasa perihnya hilang. Pas kering juga ga narik banget ke kulit jadi gampang aja buat peeling maskernya, dan ga perlu dibilas lagi setelahnya. Kalo lagi maskeran pake peeling mask ini selain ga malu dikira pake topeng juga ga bikin susah ngomong. Biasanya aku maskeran pas lagi jaga warung siang di siang hari dan happy ajah karena ga bakal ngagetin orang. Cara pakainya; tinggal diratakan ke seluruh wajah yang sudah dibersihkan dan diamkan selama 10-15 menit. Kalau sudah mengering tinggal ditarik aja dari kulit, dan seperti yang aku sebutkan tadi, penarikan masker dari muka ga bakal bikin muka perih karena dasarnya ga kenceng-kenceng banget nempel di kulit.

Claim dari Sariayu Peeling Mask ini yaitu;

Masker Peel Off yang praktis digunakan tanpa perlu dibilas. Mampu mengangkat kotoran dan sel kulit mati, menjadikan kulit bersih, segar, dan lembut. Ekstrak buah Langsat, ekstrak bunga Hibiscus, Vitamin C, dan provitamin B5 membantu melembapkan dan membuat kulit wajah tampak lebih cerah.

Wangi Peel off masknya kayaknya kecampur sama bau alkohol yang menyengat, tapi untungnya di aku sih ga begitu bikin risih. Dikemas dengan tube berwarna hijau seberat 75g, dapetnya lumayan lho untuk harga di bawah 30ribuan perak. Pas masih baru biasanya masih ada segel di dalam lubang tube, beneran aman dan higienis kalo kebetulan kalian belinya via online shopping. Harganya juga murah lho, sekitar Rp 26.000,- dan mungkin di tempat lain juga ga nyampe angka 40ribuan. Yang bikin susah cuma tempat nyarinya, kecuali kalau langsung dateng ke konter kosmetik khusus Sariayu. Kayaknya aku pernah sekali liat masker ini di Chandra Superstore (Bandar Lampung), cuma sebelumnya ga pernah tertarik beli dan saat itu aku juga ga begitu suka maskeran. Agak nyesel juga kenapa ga mau nyoba hahaha šŸ˜‚šŸ˜‚šŸ˜‚.

Yang aku suka dari Sariayu Peel Off mask :
1. Kemasannya praktis, higienis dan jelas aman karena ada segel foil di dalam lubang tube. Jadi bisa tahu barang yang dibeli masih beneran baru atau udah kena sentuh tangan ga bertanggung jawab.
2. Makenya gampang dan ga ribet. Bisa diatur berapa banyak gel yang harus dipake dan bisa diaplikasikan dengan jari.
3. Ga terlalu narik banget ke kulit jadi mau dipake setebel apapun ya jadi aja.
4. Ga berwarna; konsistensinya kan gel transparan jadi pas maskeran ga bakal menarik perhatian orang.
5. Setelah maskeran kulit kerasa kenyal dan lembut banget. Ga bikin kering atau kerasa perih setelah maskernya dilepas.

Yang ga aku suka :
1. Kalau kondisi lagi panas banget atau dengan kondisi kulit aku yang gampang berkeringat, sebenanya butuh lebih dari 10-15 menit (waktu yang diperkirakan) supaya maskernya mengering. Malahan aku sampe harus pake bantuan kipas angin karena susah banget buat keringnya. Yang jelas kalo buat yang kondisi kulitnya gampang berkeringat kayak aku mendingan pilih waktu malam hari aja untuk pake masker ini.
2. Baunya cukup strong karena kecampur antara bau bahan herbal sama alkoholnya. Untuk orang yang ga suka bau produk yang strong mungkin ga nyaman dengan masker ini. Untungnya untuk aku yang biasanya sensitif sama bau produk yang menyengat, make Sariayu Peel off mask fine-fine aja.
3. Agak susah ngebersihin sisa produk yang nempel, terutama kalo nempelnya di rambut.

Well.. masalah repurchase sih belum tau ya, sejauh ini aku suka sama masker dari rangkaian ‘Putih Langsat’ Sariayu ini. Cuma masih kepingin nyoba jenis masker yang lain biar tau mana yang paling cocok untuk kupakai. Akhir-akhir ini juga karena lebih sering make sleeping mask dari Viva makanya masih lumayan banyak. Tapi menurutku masker ini cocok banget dipake sebelum makeupan, karena jatohnya bikin muka lebih bersih dan ga terlalu berminyak which is enak banget sebagai starter buat dandan.

Warung Ani : Di sebut “Ibu”, kok Marah?

Hari ini cuaca cukup panas di Kampung Tridharma. Beberapa orang datang membeli es batu demi melepas dahaga setelah bekerja di Ladang, atau demi menghalau rasa panas matahari yang hampir berada di puncak kepala. Tak jarang sekali datang orang bisa membeli lebih dari dua bongkah. Biar mantul, kata mereka. Aku mendapat giliran menjaga warung sekitar pukul 11 siang karena adik hendak makan siang, sementara Emak tengah membersihkan halaman depan rumah. Kebetulan memang rumput liar sudah mulai tumbuh mencapai lutut kaki orang dewasa, dan Emak sudah gatal rasanya ingin memegang cangkul kebanggaannya. Maklum, Emakku itu sangat aktif di usianya yang berkepala lima. Mana mau dia diam di rumah tanpa menggerakkan badannya untuk bersibuk sana-sini. Untungnya persediaan es batu di kulkas masih banyak, jadi kalau-kalau beliau juga kepingin minum es teh tentu bisa langsung disiapkan.

Pada saat itu seorang bujang kurus berkaus singlet tipis memarkirkan motor di depan warung, menghampiri seraya memanggil dengan suara yang lumayan keras;

“Bu, es batunya dua biji!”

Sejak tinggal di rumah setelah keluar dari pekerjaan lamaku, mendengar panggilan lantang pembeli kini menjadi sesuatu yang biasa kudengar setiap hari. Tanpa banyak bicara kuambilkan dua bongkah es batu dari kulkas dan kusodorkan padanya. Ia memberikan uang pecahan lima ribu di atas etalase kaca yang menjadi pembatas jarak kami berdua.

“Bu, eh.. mbak, esnya satu seribu, kan?”

“Iya,” jawabku singkat sambil mencari kembalian di kotak uang. Aduh, susah sekali cari recehan ternyata.

“Kirain si ibu yang jaga,” katanya, tiba-tiba, “Nanti saya dimarah lagi manggil mbaknya pakek sebutan ‘Ibu’..”

Spontan aku langsung tertawa. Ya, memang banyak sekarang yang ribut hanya karena masalah salah sebut panggilan. Teringat tempo hari ketika aku iseng membaca cuitan di Twitter tentang konsumen ojek online yang marah besar karena salah dipanggil “Ibu” oleh si Driver. Sampai-sampai dijabarkan dia punya nama yang memang sudah panjang saking murkanya dan menyalahkan tingkat kesopanan driver di kolom review. Walah… Padahal apalah salahnya, toh sama – sama wanita, bukan? Kecuali kalo mas Drivernya salah sebut konsumen wanita jadi “Bapak”, itu lain lagi ceritanya.

“Dek, saya sih ga masalah dipanggil ibu. Toh juga suatu hari nanti saya bakal jadi seorang ibu. Anggap saja sekarang sedang latihan.”

“lho, apa nggak malu mbak, masih muda sudah dipanggil ‘ibu’?”

“Apanya yang malu dari panggilan ‘Ibu’? Itu panggilan yang baik. Sekarang saya tanya, gurumu kamu panggil ibu juga, kan?”

“Iya, Mbak.”

“Memangnya kalo dia masih muda, lantas kamu panggil mbak?”

“Waduh, nggak sopan dong saya jadinya?!”

“Nah, itu kamu tahu,” kuberikan kembalian tiga ribu kepada pemuda tanggung itu, “Sebutan ‘Ibu’ bukan berarti kita dianggap tua. Bisa saja seseorang memanggil perempuan dengan sebutan ‘Ibu’ sebagai sikap menghormati, atau formalitas ketika bekerja. Etika kerja juga mengharuskan untuk memanggil atasan wanita dengan sebutan ‘Ibu’ meskipun kenyataannya dia bisa saja lebih muda dari bawahannya. Lagipula kenapa pula harus marah dipanggil ‘Ibu’, toh juga belum tentu ketemu orang yang sama setiap hari. Masa iya saya harus marah-marah sama semua orang hanya karena saya dipanggil ‘Ibu’, sih, dek? Bisa-bisa nggak laku-laku warung saya ini.”

Kami mengakhiri pembicaraan dengan sama-sama tertawa dan mengucapkan terima kasih. Sambil merapikan letak barang di etalase, aku merenungkan ucapan pemuda tadi. Kalau dipikir lagi, jaman sekarang orang terlalu memikirkan masalah sepele dan akhirnya berbuntut panjang. Seandainya semua bisa ditanggapi dengan kepala dingin, aku rasa masalah salah sebut panggilan tidak akan sampai diributkan oleh kebanyakan orang. Seandainya aku harus marah karena salah sebut panggilan, tentunya Emak pun bakal kumarahi karena memanggilku dengan segala panggilan aneh buatannya. Yah, itulah dunia. Ada-ada saja ceritanya.

Nyobain Micellar Water Dari Ovale

Aduduuhhh… Setelah ngalamin debat hati apakah harus ngereview ni produk, secara kalo lagi-lagi nulis tentang kosmetik dan skincare rasanya masih awam banget soal ginian. Berasa ga pede gimana gituh.. tapi daque ga tahan syekali mantemans kalo lagi banyak ide ngeblog kayak gini. Yagapapalahyah biar ga nganggur-nganggur amat heheheheee… šŸ˜‹ Lagian aku emang kepingin ngereview juga kesanku setelah pake micellar water, perasaan kok ni aer viral amat yak di kalangan MUA dan beauty blogger? Berdasarkan penjabaran dari blog tetangga, micellar water adalah pembersih wajah berbahan dasar air dengan teknologi micelle , kandungan di dalamnya membantu membersihkan wajah dengan cepat, juga mencerahkan wajah. Jadi ntar pigmentasi asli wajah kita kembali seperti semula, trus bisa glowing naturally. Kalo mau yang putih instant jangan ngarep dapet dari sini yah, emang ketok mejik kali’ yaa hahahaha šŸ˜‚.

Mohon abaikan backgroundnya šŸ˜‚

Anyway, di postingan sebelumnya yang nyebutin list produk sehabis shopping di toko kosmetik langganan dan di Alfamart, aku nulis kalo Ovale micellar water punya formula yang lebih menyenangkan ketimbang Ovale Facial Lotion karena ga bikin ngeringis gegara perih di kulit. Ovale facial lotion sendiri emang udah jadi pembersih muka paling pertama yang aku coba sejaman SMP karena waktu itu sok ikut-ikut mamak ngebiasain skincare routine tiap malem. Itu tuh lagi masa-masanya Ovale ngetren banget sampe Mamak rada obsessed gegara efeknya emang bikin muka kinclong kayak pantat panci yang masih baru. Tapi perihnya kagak nahan bokkk untuk ukuran anak SMP kayak aku. Makenya juga cuma sebentar sih, kayaknya hitungan beberapa bulan gitu dan akhirnya pindah ke Ponds cleanser yang ada minyaknya itu loh (biasanya kalo belom dikocok kan minyaknya ada di atas air cleanser dan ada varian pink sama hijau). So I kinda have a love and hate relationship with Ovale, dan hampir ngira micellar waternya bakal ngasih efek yang sama. Cuman waktu mau belinya juga ga ada niatan sama sekali sih, wong tadinya mau nyari Sari Ayu 3 in 1 cleanser. Untungnya walaupun ga sengaja beli, it turns out well somehow karena sampe sekarang aku ga punya permasalahan berarti setelah pake produk ini. Not that special, but not that bad lah.

Penjelasan dan ingredients.

Ovale micellar water punya 2 varian hijau dan pink, tapi aku dapetnya yang pink karena yang dijual cuma itu doank šŸ˜. Setahu aku kalo yang warna hijau itu khusus buat yang berjerawat, sementara kulit aku bertipe normal cenderung berminyak. Seperti pembersih muka dengan brightening effect pada umumnya, sehabis bersihin makeup muka berasa kinclong abezz. Ga bikin muka kaku kayak kanebo kering juga sih, jauh lebih ringan dibanding after using Ovale facial lotion. Tapi karena aku udah jarang banget makeupan dan lebih sering pake Viva Air Mawar jadi ga tau juga tuh ngaruh apa kagak efek brighteningnya. Micellar water ini juga mengandung ekstrak magnolia dan kalo kalian ga familiar dengan nama bunga ini, FYI ‘Magnolia’ itu nama lain dari ‘cempaka’ (baru tau juga aku). Menurut para penelitian yang dilakukan oleh peneliti jepang menemukan bahwa magnolia mengandung zat kimia yang dinamakan dengan ā€œHonokiolā€ serta ā€œmagnolol”. Aplikasi efek magnolol dan honokiol dapat berkhasiat 1000 kali lebih besar dibanding Vitamin E sebagai antioksidan. Selain itu manfaat lainnya adalah dapat digunakan sebagai obat antiinflamasi, antibakteri, anti tumor.

Pic taken from Google

Seperti yang bisa kalian liat di foto, untuk ngebersihin makeupku yang cuma pake Wardah BB cream sama Purbasari Loose powder aku perlu 3 kapas bolak-balik dan pas dilanjut pake Viva air mawar juga masih ada sisa makeup yang keangkat. Jadi kemampuannya menurut aku ga istimewa banget. Palingan lebih cepet bersih aja ketimbang waktu pake Sari Ayu 3 in 1 cleanser, sekali usep bisa ngangkat cukup banyak kotoran. Mungkin kalo untuk makeup yang lebih berat dan full ini itu bisa ngabisin sekitar 4-5 kapas bolak-balik.

Bagian yg mengkilat itu adalah kondisi setelah sekali usap dengan Ovale Micellar Water

Ada salah satu review dari beauty vlogger yang nyebutin kalo Ovale Micellar Water ini pas di tuang ke kapas tuh berasa terlalu basah, tapi aku sih ga terlalu peduli sama hal gituan karena hal yang sama juga terjadi kalo aku lagi pake toner air mawar Viva. Untungnya micellar water yang satu ini ga punya bau yang terlalu menyengat, again not like its sister si Ovale Facial lotion. Pokoknya aku cukup apresiatif sama Ovale yang akhirnya mengeluarkan produk micellar water karena dulu saking takutnya sama Ovale aku kayak kesel gitu setiap liat ni produk dipajang di etalase. Review-review para blog tetangga bilangnya itu ‘sensasi rasa menthol yang seger’. Oh-em-ji kalo itu dibilang seger aku harus gimanah kakakkk??? šŸ˜‚ Harganya masih terbilang mahal untuk ukuran pembersih muka, tapi affordable lah kalo di bandingin sama harga makeup remover yang dapetnya dikiiiitt banget dengan harga yang sama atau bahkan lebih mahal. Apalagi makeup remover kan ada minyaknya dan aku lumayan males mau nyoba lagi produk yang banyak mengandung minyak.

Yang aku suka dari Ovale Brightening micellar cleansing water;
1. Formulanya lebih bersahabat kalo dibandingin sama pendahulunya, Ovale Facial Lotion.
2. Ga berbau menyengat, lumayan cepet ngangkat kotoran tapi masih butuh sekitar 3-4 kapas. Cuman lebih enak dibanding pembersih yang biasa aku pake (Sari Ayu 3 in 1 cleanser)
3. Termasuk gampang dicari karena bisa didapat di drugstore (aku dapetnya di Alfamart)
4. Karena hypoallergenic dan dermatologically-tested, jadi aman dipake ke daerah yang sensitif kayak bagian mata dan bibir. Dan pas aku apply juga ga bikin mata perih sih, jadi cukup terbukti klaimnya.

Yang ga aku suka;
1. Mungkin untuk jajaran micellar water yang sama, Ovale micellar water ini ngasih harga yang relatif murah (Rp 32.000,- untuk 200 ML jadi masih terjangkau lah). Tapi kalo buat aku masih mahal karena udah terbiasa pake Sari Ayu 3 in 1 cleanser yang selisih harganya 10-12rban. Trus, sekarang udah jarang juga kan makeupan jadi terbilang mubadzir kalo mau beli pembersih muka seharga segitu.
2. Kemampuannya ga istimewa-istimewa banget jadi belum tersugesti buat repurchase. Masih cukup standard sebagai pembersih muka.

Bandrolannya mungkin beda-beda tergantung dari tempat doi di beli dan sampe sekarang masih lumayan penuh soalnya jarang dipake. Bolehlah yaa sebagai micellar water pertama ga bikin aku kapok nyoba micellar water lagi. Tapi mungkin lain waktu aku bakal coba dari brand lainnya supaya bisa ngasih review yang lebih akurat mengenai produk ini. Doain aja dapet duit segepok yee wkwkwk šŸ˜‚.

Softlens Murah itu Jelek? Mosok Sih?

“Yaaahh kalo dia sih senengnya beli softlens yang murah-murah, kalo gw sih ga bisa yaaa…”

Dimana-mana kalo ngomongin soal softlens pasti bilangnya, “Aduuhhh jangan beli softlens murah-murah gitu ah, mendingan yang merek A atau B aja. Mata tuh sensitif lho jangan dipakein yang KW-annn…”. Kutipan komentar yang paling atas tuh sebenarnya omongan temen kerja yang waktu itu ngeliat daque pake softlens yang sepaketnya cuma seharga Rp 65,000 (Softlens, tempat softlens sama 1 botol sedang pembersih merek Nicelook). Softlens yang aku beli waktu itu namanya True Color Foxy Gray (jadi warnanya abu-abu polos). Tampilan kotaknya kira-kira kayak gini;

Mungkin doski ga tau kalo softlens ini sudah buanyak yang make walaupun murah. Kalian bisa liat review orang yang pernah nyoba ni softlens di sini . Well, softlens yang pernah aku coba ga cuma ini doank sih, pernah juga beli dari A+ sama 2 seri dari X2 yang salah satunya jadi favorit yaitu X2 Glam Aquamarine. But really, emang ngaruh ya antara harga sama softlens? Kayaknya ga gitu juga sih.. Berdasarkan pengalamanku, baik itu softlens murah maupun mahal semuanya punya resiko buat bikin mata iritasi. Yang bikin kalian ga bisa pake beberapa merk softlens yang lebih murah bisa jadi karena faktor lain.

Kira-kira kenapa ya?

Well, mungkin penjabaran di bawah ini bisa sedikit ngasih pencerahan.

1. Branded bukan berarti cocok sama Mata.
Waktu aku udah mulai faseh (beuh bahasanya) make softlens, nyoba-nyoba beli softlensnya X2 yang seri Diva warna brown. Seingetku harganya sekitar seratus ribu lebih gitu dan belinya di konter SpexSymbol. Waktu itu orang banyak yang bilang X2 nyaman banget, ga kayak lagi pake softlens, terpercaya dan blah bleh bloh. Buktinya tuh softlens cuma kepake sekitar 2 bulanan dan aku stop pada akhirnya gegara ga kuat sama rasa perih yang ditimbulkan. Padahal aku udah lumayan rajin ngeganti air rendaman softlensnya dan ngebersihin secara teratur, tapi tetep aja rasanya ga nyaman banget. Barulah aku ganti sama True Color Foxy Gray yang nyatanya ga ngasih efek perih segitunya. Padahal kata orang softlens murahan bikin mata perih lah, iritasi lah… tapi aku ga ngerasa gitu kecuali kalo lagi ga rajin ngebersihin softlens. Dari situ aku bisa ngambil kesimpulan kalo ini bukan karena softlensnya yang murahan atau branded. Setiap jenis softlens bisa memberikan reaksi yang berbeda sama si pengguna, so hari ini pake softlens yang lebih murah bisa aja jauh lebih nyaman ketimbang kemarin pake softlens branded yang harganya ratusan ribu. Jadi bisa dibilang softlens itu cocok-cocokan sama mata.

2. Beda orang, beda rasa
Kalo pake makeup aja mata udah sensitif, ya wajar banget lah kalo pake softlens juga bikin iritasi. Toh juga kalo ga perlu-perlu banget, aku sendiri pun ga pernah maksain untuk menggunakan softlens. Apapun merk softlensnya kalo dasarnya punya mata sensitif mah kudu harus hati-hati ngambil option buat make softlens. Terus, seperkasanya kondisi mata sampe bisa pake softlens apapun, kalo mata lagi lelah atau dalam kondisi sakit juga ga segitunya kali’ mesti maksa pake softlens. Belum lagi kalo emang mata cepet kering saat berada di ruangan AC atau di luar ruangan, liat-liat dulu donk apa bisa memungkinkan memakai softlens atau ga. Contohnya dari aku sendiri yang susah pake softlens di dalam ruangan ber AC karena mataku jadi cepet kering. Sementara kalo pergi keluar justru berbahagia aja pamer mata warna-warni bahkan bisa seharian, itu pun juga ga ngaruh sama softlens yang aku pake. Walaupun begitu, kalo emang rencananya mau pergi ke pantai atau ke tempat yang banyak debu, aku ga bakal mencelakakan diri sendiri dengan tetep kekeuh pake softlens. Pernah waktu itu main sama temen, ga taunya diajakin ke air terjun dan harus seharian pake softlens (yang true color) gegara hujan deres. Mataku iritasi parah padahal selama 3 jam pertama ga ada masalah apa-apa. Untungnya aku langsung antisipasi dengan menghentikan penggunaan softlens selama seminggu dan rajin pake obat tetes mata. Softlensnya yaaa tentu aja dibersihin donk mbakyahh, masa dibiarin. Abisannya toh biasa aja tuh, hepi-hepi aja ga ada masalah.

3. The way you treat your softlens and eyes.
Sebelum bilang softlensnya yang bersalah, coba inget dulu deh kapan terakhir kali ngebersihin softlens, tempat softlens dan alat pasang/capit khusus softlens. Inget juga apakah sebelum di pasang ke mata, softlensnya kamu bersihin dulu pake air perendam softlens yang baru. Plus kamu sempet tetesin dulu gak permukaan softlensnya pake tetes mata khusus softlens. Atau misalnya, pernah ga kamu kroscek kondisi softlens kamu dengan senter buat tau seandainya ada bagian yang kemungkinan lecet/sobek? Kalo kamu mulai mikir lama untuk jawab pertanyaan di atas, berarti bukan softlensnya yang salah, tapi kamu yang kurang rajin memelihara softlens kamu.
Softlens apapun dengan harga berapapun ga bakal bisa awet kalo cara perawatannya ga bener. Paling ga dalam 1 minggu kudu dibersihin dan diganti air perendamnya 2-3 kali. Pas mau dipake, biarpun udah rajin dibersihin juga tetep harus di bersihin lagi di air rendaman yang lain. Sebelum dipasang juga harus ditetesin dulu permukaannya pake tetes mata khusus softlens dan selama pemakaian juga sekali-dua kali ditetesin biar tetep lembab. Setelah dipake pun, softlens juga harus dibersihin lagi dengan cara yang sama kayak sebelum dipasang, baru di simpen di dalam casenya. Lho, kenapa ribet banget gituh? Menurut situ kenapa coba ada kasus dimana udah beli softlens mahal-mahal tapi masih perih juga, bahkan ketika baru dipasang. Ya karena serajin-rajinnya kalian ngebersihin softlens, kalo pas mau dipake ternyata kotor lagi kan sama aja bohong toh? Lah wong beli yang mahal aja ga rajin dibersihin apalagi yang murah pulak? Jadi yahh walaupun ribet, tahap ngebersihin softlens sebelum dan sesudah menggunakan softlens tuh bakal ngejaga umur softlens dan mata kalian sendiri dan kemungkinan mata terkena iritasi juga bakal berkurang. Terus, kalo kalian kebiasaan pake solution water alias air perendamnya justru malah bikin mata penuh sama endapan sabun pengembang softlens. Kalo mau lubrikasi mending pake tetes mata softlensnya yang jauh lebih aman dan emang khusus digunakan selama softlens nempel di mata. Di luar dari itu semua, rajin-rajinlah pake tetes mata biasa (bukan yang tetes mata softlens atau air perendam ya!) Buat ngebersihin mata kita dan setiap mau pasang/lepas softlens harus dengan jari yang bersih. Intinya, everything must be clean before and after. Inget!

(Aku attach cara aku ngebersihin softlens setelah dipake. Kalo pas masangnya juga dibersihin dengan cara yang sama, tapi ditetesin dulu pake tetes mata 1-2 drops terus baru dipasang)

4. Yakin air perendam softlens yang kamu pake cocok sama mata?
Nah, ini juga baru akhirnya aku tahu setelah beli softlens dari akun @softlensmuralbdl di Instagram. Toko softlens yang berada di daerah Kedaton, Bandar Lampung ini ngasih banyak banget info seputar softlens termasuk cara pakai, ngebersihin dan info mengenai air perendam softlens yang ternyata kemungkinan jadi alasan kenapa mata suka perih kalo pake softlens murah. Menurut miminnya sih, air perendam softlens yang biasa sepaket sama softlens berharga murah bakal bikin mata perih dan panas (contohnya Aquos sama Pure n Soft, atau Nicelook yang pernah aku pake). Kalian bisa liat salah satu highlighted storynya yang aku Screenshot;

Moreover, beli di olshop ini softlensnya sepaket sama air perendam X2 jadi doski sendiri ngebuktiin kalo tidak dianjurkan untuk pake air softlens yang lain karena bakal merah, perih dan panas. Aku beli softlens New More Dubai yang “Aquatic Blue ” dan sampe sekarang baik-baik aja tuh kalo direndam dan dibersihin pake air softlens dari X2. Malahan baru kemarin ini aku bersihin dan nyatanya ga ada masalah, beda sama pemakaian sebelumnya yang sempet bikin mataku perih gegara langsung aku pake aja. Jadi ya, faktornya banyak keleus.. jadi harus rajin ngerawat.

5. Situ makeupan dulu, atau make softlens dulu tuh?
Ini jarang banget disadari orang tapi sering terjadi. Kadang orang suka lupa kalo meskipun softlens udah dalam keadaan bersih juga masih bisa langsung kotor karena masang setelah makeup. Waktu itu pernah kejadian sama aku yang gegara pengin pake softlens pas kerja, kupasang di dalam area kerja yang full AC (soalnya kan mall) plus dengan makeup yang udah lengkap. Eh… Ndhelalahnya jadi verih syangaaatt soalnya kena mascara, jadi ngumpul di dalem softlens. Belum lagi makeupnya juga ancyur kena air mata, wohhh pokoknya siyalll. Sejak saat itu aku jadi lumayan hati-hati kalo mau pake softlens setelah makeup. Kalo emang udah terlanjur pake bedak, aku pake softlens dulu baru lanjut aplikasiin eyeshadow, eyeliner sama mascara. Malahan kadang eyeliner aku skip aja dan cuma pake mascara tipis kalo mau hangout biar ga ngeganggu kebersihan mata. Ini juga termasuk alasan kenapa aku nyaranin untuk ngebersihin softlensnya pas mau dipasang dan setelash dilepas. Nah, coba inget-inget deh, dirimu pasang softlensnya sebelum atau setelah makeup?

6. Dan lain-lain.
Selain poin-poin di atas, harus juga merhatiin apakah tangan dalam keadaan bener-bener bersih saat masang/lepas softlens, dan softlensnya sendiri pun masih baik atau ternyata udah sobek. Misalnya kamu beli softlens via online, reviewnya positif atau malah banyak yang negatif? Kondisi kemasan masih tersegel atau udah kebuka? Tanggal produksi, expired dan BPOMnya udah dicek belum? Dan sebelum dipake, sempet rendem softlensnya di air rendaman yang baru selama 1 hari belum? Yang kayak gini juga harus dicek lho. (Liat SS di atas, olshopnya pun nganjurin untuk periksa Nomor terdaftar Kemenkes supaya aman, terutama bagi yang punya mata sensitif)

Kalo dibaca satu-satu emang rasanya ngeribetin sih, tapi believe it or not aku memakai semua cara di atas dan alhamdulillah softlens yang aku pake semuanya (kecuali X2 Diva) ga ada yang mubadzir alias kebuang sia-sia gara-gara masalah perih dan iritasi. Yaa bukannya ga pernah iritasi lho, tapi setidaknya bukan karena softlens yang dipake murahan dan bukan yang bermerk. After all it’s up to the costumer themselves yang berminat atau ga. Kalo emang dengan segala cara di atas tetep bikin mata perih pas make softlens murah, yo wes ga usah dipaksa. Mungkin itu bukan rezeki anda mwhahahaha šŸ˜‚. Tujuan aku ngoceh panjang lebar gini juga cuma untuk sekedar menjelaskan kalo softlens yang bagus itu ga selalu dinilai dari brand dan harga. Aku pernah nonton video youtube dari negeri tetangga tentang pengalaman seorang pengguna softlens yang ga bisa pake jenis softlens dengan kadar air di atas 50%, noh… Aneh kan? (Sayangnya begitu aku cari lagi di youtube udah ga nemu šŸ¤”) Weheheheh.. semua bisa terjadi nona maniss. Yang jelas semua terserah yang mau make softlensnya. Terus dipake sesuai kebutuhan. Udah gitu aja deh.

(Btw ini foto-foto aku pake softlens X2 Glam Aquamarine dan New More Dubai Aquatic Blue. Dua softlens dengan harga yang beda tapi sama-sama nyaman karena perawatannya sama-sama rajin.)

Bisa tebak mana yang X2 dan mana yang Dubai? šŸ˜œ

Aseli Keren : #MalamMingguMiko en Freemake

Mungkin udah jadi kebiasaan ya, kalo aku punya punya “hutang” post, bawaannya males aja mau bikin post baru. Yang dipikir cuma kapan bisa nyelesain post hutang. Haha šŸ˜† Akhirnya, setelah selesai post tuh rasanya lega banget. Meskipun masih ada yang perlu diedit, gapapa deh.. Intinya rampung gitu. Yay.

Baca lebih lanjut

Jadi Bingung Sendiri :/

Well, aku ga mau banyak ngomong tentang hal ini. Tapi jelasnya aku bingung.
Seperti post yang kemarin tentang dismenoria yang aku bahas disini, setelah kucari lagi infonya ternyata nyeri hebat di pinggul bagian bawah bisa juga mengindikasi adanya endometriosis atau bahkan kista. Aku jadi bingung, di Wikipedia menjelaskan bahwa dismenoria atau nyeri haid itu merupakan gejala normal saat datang bulan pertama. Tapi kalau ternyata itu merupakan endometriosis, bisa berbahaya karena dapat mengakibatkan infertilitas. Selain itu ada fakta bahwa faktor keturunan memperbesar kemungkinan terjadinya endometriosis.

Baca lebih lanjut

Wanita perlu tahu: Dysmenoria

Evening people!
Sore gini enaknya ngapain yaa??
Berhubung daku masih ngantuk berat akibat minum obat tadi, post yang ini kayaknya ga bakal sepanjang seperti biasanya. Biasa, “tamu bulanan” mampir, daku pasti harus rutin minum obat penghilang rasa sakit biar ga terganggu sama nyeri yang menyiksa. Kalo masalah jenis obat yang aku minum, cuma mefenamic acid 500mg. Minumnya juga gx sekaligus sih.. Cuma 3/4 bagian, kalo resep Nofri gitu. Jadi sampe saat ini aku ga ngalamin siksaan nyeri yang dulu sampe bikin aku hampir pingsan. Minum obat ini aman kok, coba baca di sini;

Pembahasan di forum Kompas mengenai cara mengatasi PMS.

informasi tentang bagaimana mengatasi nyeri haid.

Baca lebih lanjut