Writing is healing

Tahun 2019-2020 kayaknya itu kala terakhir kali aku nulis di blog yah, padahal blognya sendiri masih setia nongkrong di WordPress. Kemarin-kemarin sempet ada niatan mau di non-aktifkan aja sekalian daripada ga aktif segitu lama, tapi kok jadi sayang sendiri. Ibarat ngebesarin anak kecil, umur si blog mungkin bisa disamakan dengan umur anak SD kali ya. Apalagi sekarang emang kondisi lagi hamil 23 minggu alias 5 bulan. Kayak kasihan aja begitu, masa mau di ‘buang’ setelah bertahun-tahun jadi tempat curhat paling setia. Mungkin ini saatnya balik lagi ke hobi lama yang sering pasang surut terlupakan. Semoga dunia blog menyambut lagi dengan ramah (apasih ya wkwkwk).

Update kehidupan selama dua tahun belakangan ini yaa… Begitu adanya.

Dikenalkan sama seseorang dari tetangga,

dilamar,

menikah bulan Juli 2021 kemarin,

terus sebulan kemudian langsung hamil.

Melewati bulan-bulan itu juga, ada peristiwa-peristiwa suka duka yang sebenarnya ada sih keinginan pengin di tulis di blog. Tapi entah kenapa jadi sungkan mau cerita satu-satu. Semakin tua, perasaan makin takut mau beber kehidupan pribadi di internet. Walaupun tahu sih aku ini bukan siapa-siapa yang kehidupan pribadinya bakal dicari orang. Tapi tetep aja, was-was itu pasti ada. Habisnya jaman sekarang apasih yang ga bisa internet cari tahu? Modal cuma Facebook dan Instagram aja bisa ngungkap kriminal. Ga usah jauh-jauh, yang dekat-dekat disekitar kita aja lebih nyaman cari tahu lewat sosmed ketimbang berusaha memahami pribadinya langsung. Salah satu alasan kenapa aku jadi ga pernah lagi nulis di blog ya karena biar ga kegoda ngesosmed lagi. Itu dunia yang toxic, yang kalo terlalu di dalami malah jadi bumerang buat diri-sendiri dan emang dasarnya udah banyak pengalaman pribadi yang kejadian.

Beberapa hari yang lalu, salah satu peristiwa duka penutup tahun ini datang dari pihak keluarga bapak. Yayik (Bapaknya Ayah) yang sudah bertahun-tahun sakit karena menua akhirnya tutup usia. Aku, Mamak, bahkan Ali berangkat ke Penumangan Lama untuk melayat, mengantarkan Yayik ke liang lahat untuk terakhir kalinya. Bulan Juni lalu sebelum nikah, Mbah (Ibunya Mamak) lebih dulu berpulang, dikremasi dengan ritual ngaben adat Hindu Bali. Sekarang-sekarang inilah baru kerasa tahun ini berat, kehilangan keluarga sepuh… Dibuat sadar kalau kita tuh sudah tua. Nantinya bakal jadi orang yang menggantikan posisi mereka menjadi yang meninggalkan para generasi muda.

Ketemu sama sepupu Bapak (anak pamannya bapak yang kebetulan umurnya dekat) yang dulunya teman sepermainan jaman remaja dulu juga bahasannya ga jauh-jauh; ya ampun… Itu si A udah bujang, Mashaallah… Tante B udah gadis ternyata anaknya. Dan akhirnya masuk ke satu kesimpulan bersama ;

Batin, kita udah menua ya. Kita sendiri yang menolak untuk menua.

Tapi umur ga berbohong. Bentar lagi bakal jadi ibu yang harus ngajarin anaknya tentang dunia dan akhirat. Entah apa bisa. Urusan dunia aja masih morat-marit, masih pincang sana-sini kalau mau jalan. Mau ditangisin, dimarahin, disesalin, malah jadi merasa bodoh sendiri. Ngeluh pun udah ga sama nyamannya kayak dulu, kayak jaman kerja, siapa aja siap sedia kuping untuk mendengarkan dan mulut untuk julid. Mungkin benar, writing is healing. Daripada dipendam jadi penyakit, aku tumpahkan disini aja. Siapa tahu menyehatkan.

Doain ya, siapapun dari kamu yang baca post ini, biar kita sama-sama sehat walafiat. Semoga dengan nulis lagi di blog bisa jadi self-healing terbaik yang bisa aku usahakan buat diri aku sendiri. Aamin.

3 pemikiran pada “Writing is healing

Tinggalkan komentar