Guruku Pahlawanku : Antara Pengabdian dan Penghasilan

Hollaa, people. Kembali ceriwisan di blog ini, aku mau ngajak kalian yang sempat ngintipin artikel ini untuk memahami sebuah cerita hati pendek yang mungkin ga penting, namun justru punya pesan yang bermakna untuk kita semua.
So, dalam beberapa diskusi kelas, teman-temanku banyak berpendapat bahwa mereka bertujuan ingin menjadi PNS kalau sudah bekerja sebagai guru. Katanya, “Kalau jadi PNS, kan ada tunjangan. Enak, dong, hidup terjamin.”

guruku pahlawanku


Mostly people would have the same opinion as them. Afteall, life is harsh. Kalau Cuma bergantung pada penghasilan honorer, bakal makan hati. Percuma kuliah sampai tinggi, tapi karir sebagai guru ga menghasilkan. Terus, gimana masa depannya kelak?

Sadly, aku ga bisa kasih argumen untuk membantah anggapan ini. Begitu banyak orang yang ingin menjadi guru dengan harapan bisa terdaftar sebagai PNS. Kalau sudah jadi PNS, barulah “diakui” orang. lalu bagaimana setelahnya? Bagaimana dengan profesionalitas sebagai guru? Apakah setelah itu akan benar-benar mengabdi sebagai layaknya pengajar yang menyalurkan pengetahuan bagi para pelajar, karena faktanya profesi tersebut hanya sebagai “batu loncatan” untuk meraih jaminan hidup dan penghasilan yang lebih baik sebagai PNS?

Ini adalah pengalamanku belajar di SMK, ketika saat itu diadakannya ujian PNS. Beberapa guru yang mengajar di sekolahku juga mengikuti ujian tersebut, dan diantaranya ada yang lolos sebagai PNS. Anehnya, setelah diangkat menjadi PNS, salah satu guru malah mulai jarang mengajar di sekolah kami. Terkadang ia hanya menitipkan pesan untuk merangkum dan mengerjakan beberapa soal, sehingga absensi kehadirannya saja bisa dihitung dengan jari. Jika berkesempatan hadir untuk mengajar di kelasku, ada kesulitan untuk memahami penjelasannya karena Cuma sekenanya saja. Aku pikir, “apa karena terlalu sibuk sampai untuk menjelaskan materi saja kok singkat-singkat saja?” Soalnya kan ga semua siswa memiliki kemampuan yang sama dalam memahami materi, apalagi mapel yang ia ajarkan adalah Ekonomi yang merupakan salah satu pelajaran terlemahku. Yang paling aneh lagi, entah karena ingin ‘menunjukkan’ kemampuannya sebagai guru PNS dengan intelegensi yang baik, setiap mengajar malah lebih banyak cerita pengalamannya ketimbang mengacu pada materi utama. Memang sih, maksudnya biar siswa lebih semangat dan terdorong untuk sukses, tapi kalau 50% waktu KBM Cuma begitu-begitu saja dengan penjelasan yang singkat dan kelas yang agak terlalu pasif, apakah berkualifikasi seperti itu?
Di masa itu pun, banyak sekali beritadi TV yang menayangkan protes terhadap adanya ujian PNS karena masih banyak guru honorer yang tidak diangkat menjadi PNS meskipun telah mengabdi selama puluhan tahun. Lalu ada pula berita-berita lain tentang pelaksanaan ujian ini yang aku kurang begitu ingat. Jelasnya, perkara title PNS dalam dunia guru itu erat sekali, sehingga aku jadi terheran mendengarnya. Lah, kalau seperti pangalaman yang aku alami di atas ini bagaimana?

Aku rasa, harusnya kita kembali kepada makna seorang guru bagi dunia pendidikan. Seorang master yang menguasai ilmu atau bidang tertentu bukannya mendapatkan ilmu tersebut layaknya seperti dijatuhkan dari langit, bukan? Ia akan mengalami tahap paling dasar, yaitu mempelajari. Dan tentunya dalam belajar, pasti ada yang mengambil posisi sebagai yang mengajar. Albert Einstein tiadak akan menjadi bapak revolusi jika ia dahulu tidak mengenal ilmu dasarnya dari gurunya. Hellen Keller tidak akan dapat menulis banyak buku dengan kesulitannya jika tidak ada Anna yang mengajarkan apa yang ia perlukan. Guru, apapun yang ia ajarkan, siapapun ia, Dan kepada siapapun ia mengajar, maka sepatutnyalah profesi tersebut dilakoni dengan kebanggaan dan ketulusan. Kalau Cuma diloncati demi hal lain yang dianggap menjamin hidup, lalu buat apa profesi guru itu sendiri?

Sulit aja memahami cara pandang calon-calon guru yang seperti ini, karena secara pribadi aku lebih menghargai guru honorer dengan gaji yang tidak besar, namun ia bangga sebagai pencetak generasi masa depan. Ga peduli mau terjamin hidupnya atau ga, ia tetap membagi ilmu kepada setiap orang yang ingin belajar. Guru seperti itulah yang memenuhi standard guru sejati, yang terus mencari ilmu dan menurunkan kepada siswa. Di luar negeri bayak sekali contoh guru dan pengajar yang punya dedikasi tinggi dalam mengajarkan ilmu dan tidak pernah menghitung berapa penghasilan yang mereka dapat selama karir mengajar. Bagi mereka, ilmu itu merupakan sesuatu yang tidak bisa diperhitungkan dengan seberapa besar gaji yang mereka dapat. Mengajar adalah “passion” dan hidup mereka, dan itu sudah cukup. Terus kenapa calon-calon guru di Indonesia ga bisa berprinsip seperti mereka ya?
Spekulasi aja sih, mungkin pendapat ini timbul dengan melihat cerminan kehidupan para guru yang cenderung minim perhatian. Rata-rata berpikir, “being a teacher is not enough,” jadi guru itu ga cukup. Kuliah sampai S2, targetnya ingin jadi guru profesional tapi ujung-ujungnya ada tersirat ingin jadi PNS. Kata dosenku bahkan, “Ini bukan lagi jaman Umar Bakri,” seolah setuju dengan profesi guru yang “tidak cukup”. Maksudnya mungkin ingin bilang supaya mengangkat kesejahteraan hidup guru. Namun yang aku liat justru bukan meningkatkan kesejahteraan hidup sebagai guru, melainkan sebagai PNS.

Intinya, ga ada yang salah dengan keinginan para guru dan calon guru untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, asal tetap menjaga profesionalitas. Jangan justru sudah jadi PNS malah terlena, sehingga menimbulkan pendapat miring terhadap profesi guru itu sendiri. Menjadi guru layaknya berdasarkan dedikasi dan pengabdian, bukan karea penghasilan. Semoga guru Indonesia terus berjaya dan berkarya dalam mengajar generasi bangsa. Guru merupakan aset negara, orang-orang berjasa yang sepatutnya kita hargai kerja kerasnya.

Satu pemikiran pada “Guruku Pahlawanku : Antara Pengabdian dan Penghasilan

Tinggalkan komentar