Kirim Foto di antara Jaman

Beberapa hari yang lalu, sepupu sms. Dalam dua hari mulai dari malam hingga ke malam lagi getol kirim sms berkali-kali. Kirain isinya penting, sesuatu yang darurat. Isinya…

“Mbak Ai, bisa tolong kirim foto ke temenku ga ntar kuganti.”

Sengaja ga kubales dan kubiarin dia kirim sms terus dengan harapan ntar kapok sendiri. Soalnya bukan sekali dua kali dia minta hal yang sama. Mending kalo tujuannya ke teman yang ia kenal, pernah ketemu atau semacamnya. Minimal tahu lah wujudnya seperti apa. Dasarnya ababil alias ABG Labil, mau aja ngirim foto ke orang ga dikenal. Kalo pake hp sendiri sih ga masalah, nyuruh orang sih… Jadinya setengah jengkel tapi agak sungkan mau nolak. Takut dibilang pelit atau sombong. Eehh… Ga taunya pas malem nyamperin ke rumah, demi untuk ngirim foto ke entah siapa dan dimana dia berasal. Jengkel sekali rasanya, karena untuk hal tersebut aku sampai harus kehilangan waktu untuk nyelesain tugas yang numpuknya segunung. Aihh

Bukan hanya soal menggangu waktu aja yang bikin aku dongkol dengan permintaannya, tapi juga karena perkara berkirim foto itu sesuatu yang sering diremehkan orang sebagai hal yang biasa. Padahal ada banyak kasus di luar sana yang akarnya cuma sekedar dari sebuah foto yang dikirim atau dipublikasikan lewat foto. Soalnya, yang jadi masalah itu adalah kepada siapa foto tersebut dikirim atau diperlihatkan. It’s risky though appears to be simple.

Di antara rasa jengkel itu ada juga rasa lucu yang muncul karena saat aku masih seumur dia, aku juga pernah ngelakuin yang sama. Tapi ya lama-lama jadi bosen sendiri dan berasa sayang buat buang-buang waktu dan pulsa demi hal-hal semacam itu. Walaupun sepupuku ngaku kalo dia udah hampir setengah bulan ga ngisi pulsa karena sering dikirimin sama kenalan-kenalannya itu, buatku tetep aja perilakunya mengganggu. Selain itu, sekarang udah terlalu basi deh kirim-kiriman foto di tahun 2013 ini. Tinggal buka akun Facebook ya habis perkara. Agak gimana gitu, mau aja ya diminta ngirim foto. Meskipun dibilang emak, “namanya juga usaha.” Tetep aja…

Kalo bikin perbandingan antara jaman di awal tahun 2000-an dengan 13 tahun sesudahnya mah jauh banget ya. Masa SMK di tahun 2007-2009 aja jelas-jelas jauh beda dibanding sekarang. Tapi sebenarnya, masih banyak hal yang ga banyak berubah meskipun jaman berganti. Teknologi mungkin bakalan terus berkembang setiap tahun, bulan, dan bahkan hari. Lucunya, si pemakai kadang masih banyak yang terbodohi oleh jaman. I don’t know why but it stills happen. Ga peduli walaupun si anak sekarang lebih pinter soal gadget dibanding kita-kita yang generasi lebih tua, kenyataannya masih banyak remaja yang butuh pemahaman akan pemakaian teknologi yang aman dan sesuai. Tau sendiri kan, dampak teknologi nih kayaknya udah semakin memburuk. Entah si anaknya yang gampang lolos dari pengawasan, atau si orang tuanya yang memang meremehkan hal-hal semacam ini. Yang jelas, sebagai orang yang pernah mengalami fase-fase tersebut dan sekarang berada di posisi sebagai orang dewasa, miris juga nih. Celakanya, si anak susah dikasih tau. Nasihat dan tolakan juga ga digubris. Parah deh…

Hal di atas salah satu contohnya, to be exact. Si anak dikasih alat komunikasi oleh ortu dengan tujuan agak memudahkan jangkauan hubungan, tapi kadang-kadang kepercayaan tersebut malah disalahgunakan. Kenalan dengan orang yang jauhnya bermil-mil, katanya sekedar iseng, tapi manut waktu disuruh ngirim foto. Bukan apa-apa, kalo aku sih bakalan mikir dua kali. Ngasih alamat FB atau akun Twitterku aja kadang masih ragu-ragu kalo ga kenal-kenal amat, apalagi add request dari orang yang ga bisa dibuktikan wujudnya hanya dari sekedar foto. Duhh.. Sayangnya kalo menghadapi remaja, bawaannya kayak nerjang tembok. Bikin dongkol hati dan kepala, tapi ga ada yang masuk ke nalar. Aku juga kali ya yang kurang tegas, daripada ngoceh gini mendingan juga ditolak sekalian. Auk ah.. Dasar para ababil.. Ckckck… Moga-moga calon anak ketika sampai ke fase itu gs parah-parah amat. Hahaha.. Amiieeen.. 😀

Jika Mengajar Dengan Pena

Ada sebuah kejadian lucu waktu salah satu dosen minta kami semua teaching test, medianya dua pena hitam dan biru. Mata kuliah di semestar 4 memang hampir semuanya tentang teaching, jadi materialnya kebanyakan diisi teaching test dan presentasi. Ya gitulah.. Si dosen ini memang sering membicarakan teaching test pake media-media sederhana dan ujian praktikal yang ia berikan memang selalu begitu dari dulu (menurut kakak tingkat sih gitu..). Di hari Senin yang lalu, kami ditantang nih sama beliau. Bisa ga ngajar anak SD dengan media dua pena hitam dan biru tersebut. Jawaban mulai riuh rendah, gimana caranya tuh ngajarin anak SD dengan media pena?

Mulai dari giliran pertama hingga sampai ke aku, semua maju melakukan simulasi mengajarkan anak SD kelas 2 menggunakan dua buah pena tersebut. Di ibaratkan kami para mahasiswa adalah siswa kelas 2 SD dan yang mendapat giliran adalah guru mereka. Cara mereka mengajar hampir sepakat semua baik isi dan pembahasan; pena itu apa, kegunaannya dan fungsinya apa, bagaimana cara menggunakannya, sampai ke detil-detil seperti bentuk, warna dan merk. Kok jadi kayak promosi ya, ketimbang mengajar. Lama-lama jadi gregetan sendiri sambil mikir-mikir seharusnya gimana ya cara ngajar yang tepat. Sementara pak Dosen yang observasi senyum-senyum sendiri, bawaannya juga jadi nervous. Ada yang komentar, misalnya “Duh.. Apaan sih, masa ngajarin tentang pena.” atau “Eyalaahh kok jadi promosi toh ini ya?” Tapi meskipun ngopeni begitu, pas dapat gilirannya ya sama wae yang dibicarakan.

“Anak-anak, yang ibu/bapak pegang ini apa? Ini namanya pena. Pena ini gunanya untuk menulis. Pena terdiri dari beberapa bagian, yaitu point, tinta dan case atau tempat pena. Kalau biasanya kalian menulis menggunakan pensil yang bisa dihapus, pena hanya bisa dihapus dengan tip-x. Tapi jangan sering-sering ya, karena nanti jadi kotor. Pena itu warnanya macam-macam, tapi yang ibu pegang ini warnanya biru dan hitam. Merknya pun bermacam-macam, kalau yang ini merknya STANDARD.”

Logikanya, siapapun yang mendengar penjelasan seperti ini pasti bakal ngakak membahana. Apalagi anak SD, apa iya mudeng? Aku pun melengos, ogah deh diriku ngajarin siswa begitu. Emangnya daku guru apakah?? Dan disaat itu otak akhirnya berfungsi setelah lama ga dipake (kamsudnya??). CLING! Ilham muncul dengan indahnya : WHUAYY KAKAAKK!! Kita kan kuliah bahasa Inggris. Yaa ajarin aja bahasa Inggris pake tuh pena. Ngapain susah-susah. Tjiahahaha kok lola banget ya diriku baru kepikiran hal kayak gitu? Kan pak dosen mintanya ‘mengajar menggunakan pena’, bukan ‘mengajar tentang pena’. Maka inilah yang aku lakukan waktu giliranku tiba :

“Anak-anak, hari ini kita akan mempelajari kosakata baru. Di sini ibu punya dua buah pena. Nah, ibu mau tanya nih.. What’s PENA in English? Kata bahasa Inggris untuk pena adalah PEN. Ulangi kata PEN (background paduan suara ‘PEEENNN’). Good! Now, anak-anak tau isi pena itu apa? Ini namanya tinta. Tahu bahasa Inggrisnya TINTA? Tinta in English is INK. Coba ulangi kata INK (background paduan suara “IIINNGGKK”). Welldone! Nah sekarang dua pena ini warnanya apa anak-anak?” yak! Tepat sekali, Biru dan hitam. What are BIRU and HITAM in English? Jawabannya adalah BLUE and BLACK. Sekarang ikuti ibu ya, BLUE! (‘BLUUUU’) BLACK! (‘BLAAAEEK!!). Nah sekarang sebutkan semuanya : PEN, INK, BLUE, BLACK. Pinteeerr.. Tepuk tangan semuaaa…. (applause dan gelak tawa).”

Kontan simulasiku jadi bahan tertawaan satu kelas. Ada yang katanya sampai sakit perut, tapi aku tetep kembali ke tempat duduk dengan senyum puas kok. Yang penting menurutku itu merupakan metode yang seharusnya memang digunakan untuk mengajar anak SD dengan media pena. And after all had done their test, Dosen review test kami. Ternyata simulasiku yang nyambung maksud pak dosen meskipun katanya masih kurang. Gapapa deh pak, yang penting metode saya tepat. Muhahaha.. *ketawasetan.

Yah… Menyimpulkan dari kejadian ini sih, kita seharusnya ga boleh meremehkan sesuatu yang sederhana. Soal sepele macam pena saja sudah bikin mahasiswa bingung gimana ngajarinnya, apa jadinya kalo menggunakan metode yang lebih aneh lagi? Hal kayak gini mungkin kesannya kelihatan gampang, padahal pas dipraktikkan ga taunya pada ngaco semua. Wkwk… Alhamdulillah nalarku nyambung waktu itu. Kayaknya cocok juga nih jadi guru SD. Hohoho.. *mesem*.

Star I found in a Novel

The Fault in Our Stars

Aslinya udah lama banget kepingin review tentang novel ini, eh malah ga jadi-jadi dan draftnya pun jamuran gara-gara ga diedit sama sekali. Padahal The Fault in Our Stars yang ditulis oleh John Green ini udah dari kapan-kapan kelar dibaca. Akhirnya tiba-tiba kejatuhan ilham entah dari mana kepingin bikin review lagi, so draftnya ku edit. Ada kesan tersendiri kalo ngomongin alur cerita novel ini, soalnya… Ceritanya itu lhohh and I mean, ceritanya itu lhohhhh.. Something that is unacceptable to miss. Napa gituh?? Karena kalimat “kesan pertama begitu menggoda” sama sekali ga berlaku buat novel ini, justru malah “don’t judge a book by its first chapters”.

Di awal-awal penceritaan aku sempet agak bingung sendiri dan sedikit kehilangan minat untuk baca, soalnya narasinya terlalu penuh dan banyak kesan hiperbolis dengan istilah-istilah yang sulit dipahami (at least buatku ya). I mean, This is a life story told personally by lung-cancer suffered girl name Hazel Grace, about her illness, her live through the fight of this illness, her love story, and her survival through everything that happened to and around her. Mungkin karena latar belakang pendidikan John Green mempengaruhi isi cerita The Fault in Our Stars atau doi emang sengaja menyuguhkan sebuah cerita kehidupan penderita kanker paru-paru dengan berbagai istilah dan pengetahuan sains yang bagi sebagian besar orang agak berlebihan (mungkin lebih banyak faktor ga mudengnya itu sih..). But I really got the message when I read this book. Baik novel, sinetron, atau film yang mengangkat cerita mengenai kanker lebih banyak berputar ke masalah kanker dan gimana si penderita berjuang melawan penyakitnya. Ending bervariasi dari happy ke tragic, dan aku ga bilang novel ini luput dari hal-hal semacam itu. Tapi prosesnya, memperlihatkan realita kehidupan sebuah kata “cancer”, penderita, lingkungan, kehidupan, cinta, keluarga dan kematiannya. Ada banyak hal dalam novel tersebut yang secara nyata membuka mata kita tentang kanker dan bagaimana masyarakat baik penderita maupun orang awam hidup dan berasosiasi dengan penyakit ini.

Dalam pandangan Hazel, Ia menceritakan support group yang didatanginya atas desakan ibunya dan bertemu dengan banyak penderita kanker termasuk pemuda mantan pemain basket dan amputee bernama Augustus. Ia juga mengenal dan kemudian bersahabat dengan Isaac yang awalnya memiliki satu mata namun akhirnya kehilangan keduanya setelah operasi. Hubungan Hazel dan Augustus sempat membuatnya kehilangan kepercayaan diri dan ingin putus karena takut Augustus akan sedih setelah ia meninggal dunia. Namun yang terjadi justru sebaliknya; Augustus sebagai orang yang lebih bersemangat dalam hidup malah meninggal mendahului Hazel akibat penyebaran sel kanker yang terlalu cepat. Menurutku, Augustus lebih banyak memberi inspirasi tentang kehidupan dan cinta dari banyak hal yang dilakukannya untuk Hazel. Ia bersedia berangkat ke Amsterdam bersama Hazel untyk bertemu penulis novel favoritnya, Peter Van Houten meskipun kemudian pulang dengan kekecewaan. Di saat terakhir tanpa sepengetahuan Hazel Augustus mengirim surat kepada Peter agar berbicara kepada Hazel dalam bentuk surat. Selama ia hidup Augustus menyemangati Hazel dan bersikap sebagai pacar yang sempurna dengan supportnya meski dengan kenyataan bahwa ia sendiri lebih sekarat ketimbang orang yang ia semangati. Dari sini kita belajar bahwa hidup lebih berharga untuk disia-siakan daripada sebuah vonis penyakit. Dalam hidup ini kita selalu merasakan sakit dan luka, tapi seseorang akan bangga meninggalkan sebuah luka pada orang lain karena dengan begitu ia akan terus dikenang sepanjang masa. Filosofi luka yang membawa kenangan dan memori itu tepat banget menutup kisah Hazel dan Gus hingga sukses bikin aku mewek. Hikss… 😥

So agan-agan yang unyu-unyu dan baik hati, novel terbitan tahun 2012 ini jangan sampe miss buat dibaca karena inspiratif dan nilai moralnya ngena banget. Info dari Wikipedia katanya udah di adaptasi jadi film, tapi yaa ga tau juga sih.. Egen, kalo susah nyari ebook-nya aku punya versi PDF dan EPUB. Silahkan request ke missannietjia@gmail.com with same rules : only for personal consumption and not for public sharing. Happy reading! :mrgreen:

“I’m in love with you,” he said quietly.

“Augustus,” I said.

“I am,” he said. He was staring at me and I could see the corners of his eyes crinkling, “I’m in love with you, and I’m not in the business of denying myself the simple pleasure of saying true things. I’m in love with you, and I know that love is just a shout into the void, and that oblivition is inevitable, and that we’re all doomed and that there will come a day when all our labor has been returned to dust, and I know the Sun will swallow the only earth we’ll ever have, and I am in love with you.”

UPDATE!!!! (2/6/2015)

Karena bulan Maret kemarin aku liat novel terjemahannya di Gramedia, kayaknya ga afdol kalo ga infoin buat kalian untuk beli bukunya di toko buku. Harganya murah kok, tapi aku ga tau di Gramedia jualnya berapa. Kalo di Mizanstore.com sekarang turun jadi 42ribu. Murah kan? Moga2 gajian bulan ini aku bisa beli dan bukunya masih ada di Gramedia.

Very Iseng Person

Jadi inget stiker VIP Joger yang aku dapet pas KKL ke Bali waktu Maret lalu, it doesn’t stand for ‘Very Important Person’, but ‘Very Iseng Person’ instead. Joger emang terkenal dengan jargon dan humor kata-kata khas baik pada item yang di jual maupun pada dekorasi dan tempat. Sayang aja ga sempet ku foto semua kalimat-kalimat aneh yang ada di mugnya, soalnya asli ngaco gitu. Tapi dari stiker VIP-nya aja udah ketauan ya kalo Joger ini mau tampil beda untuk marketingnya. Ckckck.. Tapi yaa.. Masa very iseng person sih Mister.. Ga lucu deh.. 😆

Ngomonging Very Iseng Person, ato people aja deh ya soalnya pastinya ga cuma satu, ada banyak kesempatan di mana kata berinteraksi dengan jenis manusia-manusia semacam ini. Awalnya mungkin tindakannya atas dasar iseng ga ada kerjaan, supaya nantinya dianggap penting alias naik pangkat jadi Very Important Person/People. Kalo cuma sekedar ketemu sekali dua kali sih bisa kita cuekin, tapi gimana kalo frekuensi ketemunya sering ato bahkan setiap hari? Buat orang yang gampang risih dengan kebiasaan para manusia Indonesia yang suka kelewat ramah (iseng nanya tapi akhirnya malah ceriwis ini itu) seperti aku, ini kan mengganggu banget. Factually kita berinteraksi dengan banyak orang bertipe ini dan sulit untuk nyuekin mereka, soalnya selalu ada di mana-mana. Contoh nih, waktu aku suatu kali lagi duduk nungguin kelas di mulai bareng beberapa anak dari jurusan lain di depan kampus. Karena kebetulan aku sendirian (aku selalu dateng paling awal dibanding temenku yang lain), salah satu dari mereka kemudian nanya, “Kok kamu sendirian Ai?”. Kujawab sekenanya aja kalo yang lain belum datang, tapi tiba-tiba dia ngomong lagi dengan panjang lebarnya, “Kok kamu sendirian terus sih? Emang kamu lagi berantem ya sama temen-temenmu. Kukasih tau ya, kamu itu jangan pelit-pelit bantuin temen, soalnya nanti kamu juga bakal perlu temen bla bla bla…” and sooo oon..

Lha, apa pula hubungannya daku sendirian sama ga punya temen dan semacamnya? Saat itu muka cuma cengok sambil mikir kira-kira jawaban yang tepat untuk ceriwisan ini apa. Tapi akhirnya, aku juga ga bisa ngomong lagi karena setelahnya, pertanyaan dan ceriwis tersebut terucap kembali pada kesempatan yang berbeda. Aku emang udah tau kalo dia punya sifat suka ngomong blak-blakan dan asal ngegas (satu suku sih..), tapi mbok ya.. Kenapa setiap kali ketemu harus iseng menanyakan hal ga penting begitu? Terkadang ramahnya orang Indonesia ini rada absurd ya, bisa nyamber kemana-mana gitu.

Ujung-ujungnya bukan rasa terimakasih, melainkan rasa risih dan illfeel tiap ketemu orang tersebut. For me, iseng nanya orang terus tiba-tiba ngenasihatin itu meresahkan karena timbulnya jadi awkward. We’re not in shrink, ngapain ngasih nasihat, apalagi kalo ga nyambung sama situasi.

Ga cuma sekedar kenalan atau teman sekampus, orang terdekat juga bakal kumasukkin dalam kategori Very Iseng Person kalo sama-sama bikin risih dengan nasihat yang ga sesuai sama situasi. Misalnya aja kalo aku lagi curhat sama Ikhie soal masalah yang serius, belum ceritanya selesai dia udah main potong aja pake nasihat yang panjang lebar. Bahkan ga jarang hal tersebut bikin aku jadi marah dan mutusin percakapan di telepon. Bawaannya kayak lagi curhat sama guru agama ketimbang pacar. Ada banyak orang yang merasa dengan ngasih nasihat ketika pacarnya lagi curhat itu sesuatu yang baik. Tapi kalo belum kelar cerita malah langsung nasihat, apa ga jadi keliatan sok tahu? Ga tau deh aksi motong cerita dengan sok nasihatin itu sekedar iseng ato sebenarnya dia males dengerin cerita pacarnya, tapi hal kayak gini tuh sangat nyebelin. Makanya sekarang aku jarang curhat-curhatan sama Ikhie, mendingan curhat sama diary deh..

Gimana dengan skala yang lebih besar? Haters bisa dibilang cocok untuk masuk kategori Very Iseng Person/People kalo diliat dari kebiasaan mereka ngumbar-ngumbarin kejelekan suatu tokoh tertentu padahal basically in real world mereka ga ada urusan dengan tokoh-tokoh tersebut. Mengesampingkan tujuan si para haters ini ya, basically kalo kita ga suka ya tinggal cuekin dan tinggalkan. Banyak banget sekaliber nama tokoh, seleb dan orang-orang terkenal yang aku ga suka, but I obviously won’t waste my time hating people I don’t know in personal. Aku ga kenal mereka, and let’s face it, gembar-gemborin hal-hal jelek tentang orang-orang tersebut belum tentu bikin kita dikenal orang. Lagi pula kayaknya ga bagus deh kalo masyarakat mengingat seseorang karena sesuatu yang buruk, bikin komentar kasar dan ga sopan biar perhatian orang jadi ketarik. Apalagi biasanya komentar tersebut sifatnya kontroversial dan bikin orang bertanya-tanya ada apa dengan si tokoh ini, and finally they want to know about her/him. Bukannya bikin citranya jelek eh justru si seleb makin terkenal. Kecuali yaah.. Ada maksud terselubung tuh, dan sumbernya malah dari si seleb sendiri. No comment itu mah yaaa..

Intinya, mana mungkinlah kita mau dikategorikan sebagai VIP dengan jenis-jenis di atas. Aku pribadi sih lebih milih ngunci mulut dan borgol tangan kaki ketimbang dianggap sebagai VIP. Sayangnya, masih aja ada yang seperti ini, bahkan bisa bangga dengan titel VIP-nya. Sadar diri masing-masing aja deh ya, urut dada mendingan.
VIP pasti berlalu Hahaha. :mrgreen:

The (Sucked) Adventure of Bikin e-KTP

Isra Mi’raj tahun ini bisa dikatakan berbeda daripada yang sebelum-sebelumnya, karena biasanya di isi dengan molor seharian memanfaatkan momen tanggal merah. 😛 Ternyata justru di hari ini aku merasakan pengalaman yang bakal jadi salah satu yang cukup ngenes untuk diinget. Tjiahh… Gayanya hahaha. Well, ceritanya di Balai Desa lagi diadain pembuatan e-KTP gratis selama 3 hari. Kemarin bapak dan emak udah ke sana duluan untuk buat e-KTP, jadi sekarang giliranku untuk hari ini. Ya ngepas toh, mumpung dapet libur sehari. So jam 9 pagi capcus dah barengan sama sepupu yang kebetulan juga berencana bikin e-KTP juga untuk ngelamar kerja (baru lulusan kemarin nih). Berbekal copy Kartu Keluarga masing-masing, kami berdua berangkat menuju Balai Desa yang saat itu sudah ramai dengan antrian para penduduk di level senior. Ckck, sampe minder sendiri begitu nyampe di sana soalnya yang dateng serombongan ibu dan bapak dengan anak-anaknya yang digendong atau juga yang ikut membuat e-KTP. Awalnya mau nunggu di luar aja pas ngeliat antrian yang ramai itu, tapi pas duduk di dalam ruangan Balai, kok ya semakin ramai sehingga akhirnya langsung aja kukumpulin KK punyaku dan si sepupu ke panitia. Nah, bagian sini nih… Nyelenehnya prosesi pembuatan e-KTP.

Jadi kemarin, ternyata ada masalah sama data KK kepunyaanku sehingga data Emak ga muncul di komputer. Bapak jadi foto, ambil sidik jari dan retina mata, sementara Emak ga bisa menjalankan proses pembuatan. KK tersebut kemudian di kasih memo DATA HILANG di bagian atas, dan staff minta bapak untuk membawa kembali KK tersebut untuk di rekap. Berdasarkan cerita bapak sih, dataku udah diperiksa dan valid, jadi seharusnya tadi itu tinggal ngejalanin aja proses foto dan segala macemnya. Waktu kukasih ke staff tersebut, kujelaskan kalo ada data yang hilang di KK kepunyaanku, tapi yang hilang bukan dataku melainkan data Emak. Entah mungkin ga mudeng maksudku ato gimana, KK tersebut di pisah dari tumpukkan yang lain dan di masukkan ke dalam laci. Bilangnya sih, “Ooh.. Ini sih di rekap dulu.” Lha kok, gitu? Dengan bingung kutimpal, “Mbak, yang hilang data ibu saya bukannya saya.” Jawabannya? Cuma anggukan kecil terus, “Iya, tapi ini musti di rekap dulu.” Sementara KK-nya ga di keluarin dari laci. Disitu aku udah mulai was-was, jangan-jangan bakal ada masalah dan proses jadi ga lancar. Anndd, sesuai dugaan yhaa… There’s a problem. Setelah 2 jam lebih nunggu, nama paman (bapak si sepupu) di panggil, dan 20 menit kemudian sepupu keluar dari ruangan dengan KK di tangan dan senyum lega. Nama bapakku ga dipanggil padahal aku ngumpulin KK-ku barengan dengan punya sepupu. Jelas donk aku ga termasuk dalam daftar orang-orang yang akan melakukan proses pembuatan e-KTP. Sendirian aku masuk dan nanyain para staff serta kembali menjelaskan bahwa data yang hilang bukan dataku tapi data Emak, sekaligus ngasih tahu mereka kalo kemarin dataku udah diperiksa dan jelas valid. Anehnya jawaban salah satu staff, KK-ku ga bisa ditemukan dan kalo pemeriksaan kemarin udah ga berlaku lagi hari ini. Ya ampun, ga kebayang deh jengkelnya aku waktu dapet jawaban semacam itu dari si staff. Kekeuh ku jelaskan kalo dataku udah diperiksa kemarin dan yang hilang adalah data Emak, tapi staff tersebut malah balik pasang muka jengkel dan nyuruh aku sendiri yang nyari KK-ku. Di keluarkanlah dari laci setumpukan KK yang berlabel DATA HILANG dengan keadaan berantakan. Beuh…

Nyabarin diri, kusortir kumpulan KK berlabel DATA HILANG pake kecepatan super (beneran cepet kok) dan (obviouly) ketemulah tuh KK. Kukasih ke staff tersebut, nyebutin nama, terus tumpukan KK yang lain masih sempet kurapiin walaupun dalam hati berasa dongkol karena harus bela-belain nyari sendiri KK-ku. Walah, ga taunya masih tetep aja namaku ga dipanggil hingga waktu menunjukkan waktu dzuhur. Karena ga enak sama sepupu yang nemenin, kusuruh aja dia pulang duluan sementara aku tetep di Balai Desa. Sambil nungguin break selesai aku makan lontong sayur di depan BD. Hehe maksudnya hemad gituh.. Ga taunya Bapakku dateng dan ‘menyelamatkan’ daku dengan ngomong langsung ke lurah dan staff soal Data Hilang dan pembuatan e-KTP-ku. Long story short, I think you can imagine the rest. Foto, sidik jari, tanda tangan dan mata, daku pun ngibrit dengan merdeka ke rumah, kira-kira pukul 2 siang. Jyahahaha selesailah adventure 5 jam bikin e-KTP. 😆

Kesimpulannya untuk cerita di atas ini sebenarnya ga ada (menurutku) selain urut dada ngeliat prosesnya yang ribetnya minta ampun dan sempet miskomunikasi juga. Susah sih ya memutuskan mana yang bener dan yang salah untuk kasus ini, tapi harapanku untuk selanjutnya ga bakal lagi kejadian kayak gini. Soalnya kalo setiap pembuatan e-KTP gratis harus melalui hal semacam ini, ehmm… Kayaknya ga siap deh aku bikin sekuel adventure bikin e-KTP. No thank you deh, masih sayang energi dan waktu masbro. Hopely that won’t be happen again. Amienn… #PrayForE-KTP

Mana Situs Resminya?

Mampir ke dasboard blog, ada search keyword baru yang muncul di static bar. Ga taunya ada yang nyari info tentang syarat pendaftaran mahasiswa baru di DCC Tulang Bawang. Duh, ada yang mau daftar ya tahun ini? Sayang banget situs resminya untuk DCC Tuba ga ada, tapi kalo situs pusat sih ada. Forum DCC Tuba yang aktif palingan di Facebook, jadi sekalian ajalah ke groupnya karena aku yakin pasti semua punya akun FB. Lagian kalo domisilinya di Unit 2 harusnya tinggal ke kampus aja dan tanya-tanya. Ga jauh ini toh.. 😆

Ngomongin situs resmi, emang kebanyakan lembaga pendidikan ga terlalu nanggepin serius soal ginian. Untung aja udah ada layanan socmed macam Facebook sehingga pihak sekolah ato lembaga pendidikan yang bersangkutan tinggal bikin group ato fanpage. Cuma, saking randomnya orang bisa posting di group dan pengelolaan juga acak-adut, aku kurang begitu suka kalo sekolah ato lembaga pendidikan cuma ngandelin jasa Facebook untuk menyediakan group resmi. You know lah… Info admin udah keseringan tumpang tindih sama komen-komen ga jelas yang ga liat situasi dan kondisi yang akhirnya bikin group ga terkoordinir sama sekali. Masih mending kalo adminnya cukup rajin ngurusin group, moderating group bisa rapi dan aktif. Rata-rata malah ga pernah keliatan adminnya, jangankan update info.. Foto aja males di upload. Kalo emang mau dijadiin forum/group resmi harusnya paling ga ada tanggung jawab donk. Ini mah mak jelas gitu. 😐

Opini pribadiku sih, seharusnya ada perhatian lebih soal situs, forum ato group resmi online yang bisa membantu orang untuk mencari informasi penting dan mudah di jangkau. Ga harus Facebook, blog pun bisa jadi sarana yang mudah digunakan sebagai situs/group/forum resmi kalo mau serius di moderasi. Tapi seandainya Facebook yang jadi pilihan utama yaa.. At least show effort to make it official. Moderasi yang bener, tertib, info update terus, foto juga lengkap. Keep in touch secara online itu perlu lho, terutama bagi para alumni yang kangen sama sekolah ato per. Tinggi tempat mereka belajar dulu tapi ga bisa reuni ato mampir ke sana. But tetep aja sih, buatku lebih bagus situs resmi biar agak rapi ketimbang di FB. Aku heran aja kok ga mau ya Buka situs resmi ato semacamnya bahkan sebelum social media kayak Facebook ada. Sekolahku pun, Xaverius 1 Bandar Lampung juga ga punya situs resmi padahal yayasan Xaverius kan udah seabad lebih di Lampung. Yayasan Xaverius juga merata di pulau Sumatra tapi kok ga kedengeran ada situs resminya. Groupnya juga ga aktif-aktif banget sehingga sangat disayangkan, untung aja info penting semacam pendaftaran TH baru masih diupdate. Nah, sekolah dan lembaga pendidikan yang lain gimana nih? Situs resminya mana ya? Group FBnya juga kok ga aktif ya? Aktif pun, kenapa ga ada moderasi ya? Kalo official apa ga acak adut tuh? Terus, info kenapa ga lengkap ya? Event ga ada yang posting ato update ke group… Ckck.. Kayaknya susah nih jawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Yahh.. Buat siapapun yang masuk dalam instansi ato lembaga pendidikan tertentu, ga-moga aja sih sedikit bisa jadi pertimbangan.

Btw, soal pendaftaran di DCC Tuba… Syaratnya ya seperti syarat pendaftaran umum : copy Ijazah legal, bayar uang pedaftaran dan semester pertama. Biaya pendaftaran dan semester bisa di liat di brosur. Jadi yaahh.. Dateng aja deh ya ke kampus DCC Tuba : JL. Negara Lintas Timur – Unit 2 – Tulang Bawang, ato telpon ke (0726)750762. Info lain ato sekedar tanya-tanya silahkan ke group FBnya DCC Tulang Bawang, dan ke aku sendiri. 😛 (promosi ceritanya kakaakk…)

Kompak

Sekitar dua minggu yang lalu aku diajak makan pempek bareng temen-temen jurusan AMIK yang kebetulan lagi ga ada kelas karena hari itu listrik mati. Aslinya aku juga ga ada kelas sih, berangkat aja buat nyari bahan tugas. Ajakan tersebut juga karena aku mau nebeng pulang bareng sama temen dari AMIK yang kebetulan rumahnya searah. Jadilah, sepuasnya makan pempek di dekat Pasar Unit 2 dapat traktiran goban dari yang abis gajian (ceritanya mau show-off kalo udah kerja). Agak malu-malu gimana gitu soalnya cuma aku satu-satunya anak ABA yang ada di rombongan 13 orang tersebut. Makannya yaa… Ga malu. Namanya gratis hohoho… 😛 Tapi diantara asik-asik nyomotin pempek dan es teh manis, terlontar komentar, “Kamu sih, Ai. Kelasmu ga kompak, ga kayak kita-kita…”

Yah, kompak. Orang-orang menggunakan kata ini dengan banyak cara yang bervariasi pada setiap situasi. Kalo sering hangout bareng, itu kompak. Kalo bikin kaos buat satu kelas, itu kompak. Bolos tanpa ngomong ke dosen dan main tancap gas ngebolang juga kompak. Sampe copas tugas dan nyontek berjamaah juga kompak. Akhirnya jadi bingung sendiri, kalo ga ikutan katanya ga kompak. Padahal belum tentu setuju melakukan suatu hal barengan, tapi begitu ngomongin kata “kompak” akhirnya ga bisa berkutik. Jadi, itu sebenarnya kompak ato maksa? Terkadang aku suka jengkel sendiri mikirin hal ini, aslinya kepingin cuek bebek aja. Ga kompak ya udah, ga da yang larang. Cuma masalahnya, asal sekali ga kompak bawaannya pasti jadi terkucilkan. Dikiranya sombong lah, ga mau berteman lah dan sebagainya. Padahal kan bukan begitu sebenarnya. Yaa tapi ga bisa ngomong juga, udah kalah sama sekian orang yang nyebutin kata “kompak” tersebut.

Jadinya waktu dikomentari begitu, aku mau marah pun bisanya cuma mendam aja dan sabar-sabar. Kepingin bilang kalo itu bukan hak mereka untuk menilai mana yang kompak atau tidak kompak, tapi posisi di situ juga cuma tamu yang numpang ditraktir akibat kebetulan. Ckck, situasi yang kayak gini nih kadang-kadang bikin aku suka sebel kalo barengan sama yang bukan satu kelas. Bawaannya berasa di bully deh.. 😐

Lebih dari itu, aku cuma sedikit keberatan kalo mereka bilang kelasku ga kompak. Menurut opiniku pribadi, kompak itu bukan berarti harus ngekor kemana-mana sementara protes cuma di simpan di dalam hati. Kompak itu berarti saling selaras satu sama lain, bisa bergerak secara bersama-sama ketika ingin melakukan sesuatu. Kalo kompak cuma dinilai berdasarkan berapa kali sekelas jalan bareng-bareng sih… Emang bisa jadi penentu kekompakan. Yang ada, berdasarkan pengalaman rata-rata orang menyatakan sikap kompak justru pada hal semacam contekan bareng, bolos bareng, bohongin guru/dosen bareng dan semacamnya. Penginnya ga mau ikutan karena banyak pertimbangan, tapi malah di serang dengan kata “kompak”. Jiah… Giliran hal positif palingan juga alasannya, “duhh maless… Capek… Kantong lagi nipis…” Ah… Absurdnya.

Yang jelas menurutku, seseorang ga bisa menilai kekompakkan suatu kelompok kalo ga pernah masuk ke dalam lingkup kelompok tersebut. Itu ga sopan namanya. Toh aku barengan sama mereka juga bukannya bertindak sebagai juri untuk menilai kekompakkan mereka. Kok yaa… Membully diriku soal kompak ga kompak… Hiks… Aku kan jadi galau… #ngesoddilantai.