Kisahku yang Belum Punya KTP, Mau Bikin Tapi..

Will you believe me if I say that I still haven’t had an ID card?

Tapi,

Emang aku belum punya. *Bete mode : on*

Niatnya kepingin biar langsung kelar, biar kepegang itu yang namanya E-KTP, rencana ke kantor Disdukcapil buat pencetakan E-KTP fisik dramanya pake berhari-hari. Secara karena rumahku sama tuh kantor jauh banget jaraknya dari ujung ke ujung, aku harus minta tolong sama Bapak yang kebetulan tinggal di daerah yang lebih deket buat nganterin. Emang sih, rumahnya sebenarnya sama jauhnya, belum lagi aku juga ga familiar sama tempat-tempat di sini. Ya udahlah sekalian silaturahmi juga, karena emang udah berbulan-bulan ga ketemu sama bapak.

Hari H-nya, aku berangkat sekitar pukul 7 pagi dari rumah. Nyampe ke kota (karena kan rumahku di pelosok) makan waktu setengah jam perjalanan. Sampai disana harus nunggu lagi sampai kira-kira jam 8 baru ada bus yang lewat, dan sampai di terminal jam setengah 9. Jadi waktu perjalanan dari rumah sampai ke kantor Disdukcapilnya kira-kira 1-2 jam. Kebetulan karena gedungnya baru, ya tentu aja bingung mesti kemana. Soalnya karena semua dinas pelayanan masyarakat digabung jadi satu di tempat tersebut, namanya juga udah bukan lagi Kantor individual yang beda nama dan tempat, tapi kemudian menjadi Mall Pelayanan Masyarakat. Untungnya sih kepengurusan catatan sipil kayak Kartu Keluarga, E-KTP seperti itu ada di gedung utama. Langsung menuju pos kepengurusan E-KTP, aku serahin lembar fotokopi Surket tahun 2018 dan duduk di kursi tunggu. Ah, ya memang sudah biasa sih nunggu. Sebelumnya di kantor yang lama juga aku harus nunggu sejam buat bikin Surket tahun 2018. Apalagi sekarang niatnya buat pencetakan, jadi mungkin waktunya bakal lebih lama.

Akhirnya, namaku dipanggil. Tapi disusul dengan info yang bikin shock, “Mbak sudah pernah punya E-KTP? Data di kami E-KTP mbak sudah ada tahun 2012.” Aduduu.. kalo sudah punya yang ngapain toh aku jauh-jauh ke kantor Capil buat ngurus KTP? Perasaan hati sudah ga enak bawaannya. Kubilang, “Saya belum terima, mbak.” Tapi masih diototin sama petugasnya. Sampai akhirnya kujawab dua kali, barulah mbak petugasnya ngasih blanko tanda terima berkas dengan tanggal kembali ke Kantor Capil tertera 04 Maret 2020. Menurut si mbak petugas, blanko E-KTP sedang kosong. Tapi yak kok, harus 4 bulan banget gitu baru bisa punya E-KTP fisik? alamaaakk…

Sudah kadung jauh-jauh datang dan ujung-ujungnya belum bisa punya E-KTP, akhirnya aku minta pembuatan Surket yang baru. Itupun masih harus nunggu lagi setelah jam makan siang. Good grief. Kami keluar dari gedung dan cari tempat makan yang kebetulan cuma menyediakan pecel lontong dan mie ayam. Aish, keselnya. Aku pun cerita, iseng-iseng curhat colongan sama penjual minuman disitu.

“Gimana ini, bang. Masa’ saya mesti bolak-balik lagi buat ngurus KTP. Mending kalo ga jauh.”
“Memang si mbak dari mana?”
“Unit 3, bang.”
“Jauhnyaa.. Itu mah harusnya kasih uang aja mbak. Ga rugi kok kasih cepek, yang penting beres. saya aja yang rumahnya depan sini mending kasih uang, ga tahan repot.”
“Iya nih, bang. Bisa kasih solusi ga nih, yang penting E-KTP saya keurus nih. Mau dipake buat ngelamar kerja masalahnya.”
“Oo.. saya punya sih kenalan orang dalem di sini. Tapi mau teleponnya ga ada pulsa.”

Hehe, modal dulu lah ini ceritanya. Berhubung aku juga jualan pulsa via Payfazz, kuisikan pulsanya ceban itung-itung sebagai komisi. Lalu dia telpon orang yang katanya kenalan “orang dalam”, lari ke arah gedung dan masuk ke dalam. Mungkin ada sekitar 5-10 menit belum keluar. Sebenarnya, aku sudah ga berasa semangat lagi setelah liat tanggal di blanko tanda terima berkasnya tadi. Tapi karena kita hidup selalu dengan kata “Siapa tahu”, teteeeuupp di hati masih ngarep juga kalau-kalau berhasil.

Balik dari gedung, si abang itu kemudian melapor;
“Gini mbak, memang kalau mau buat E-KTPnya sekarang belum bisa karena blankonya sedang kosong. Saran saya sih coba mba cari dulu aja E-KTP yang lama di balai desa atau di Di Kantor camat. Ini sih yang ngomong yang bagian komputernya.”

Sebelum cari tempat makan, aku sama bapak juga sudah sempat menghubungi salah satu aparat desa kami untuk menanyakan perihal E-KTP tahun 2012 yang sampai sekarang masih belum aku terima. Padahal aku dan bapak melakukan perekaman E-KTP di hari dan tempat yang sama, tapi justru cuma E-KTP bapak yang sukses mendarat di tangan pemiliknya. Jawabanya malah disuruh ke balai desa aja untuk buat surat kehilangan E-KTP dan balik lagi ke kantor Capil. Buset dah. Otomatis kesimpulannya E-KTPku memang dari awal sudah tidak ada di balai desa dan kemungkinan memang tidak ada pula di Kantor Kecamatan. Dari tahun 2013 sampai 2018 aku cuma pegang KTP non-elektrik dan memang selama tahun 2012 juga memang tidak ada info apa-apa mengenai E-KTP tersebut. Lantas, kenapa kemana rimbanya tuh piece of plastic? Ada duitnya kah sampai hilang di gondol tuyul? Atau punya ilmu tertentu? Hanya menjadi sebuah misteri. Tapi inilah kenyataan sistem kependudukan Indonesia yang katanya canggih tapi berputar-putar. Tahun 2012 waktu itu, aku masih inget banget gimana alotnya proses perekaman E-KTP sampai harus nunggu dari pagi hingga menjelang sore. Petugas Disdukcapilnya pun datang ketika siang hari dimana orang-orang sebenarnya sudah bolak-balik pulang ke rumah lalu nongol lagi di balai desa. Dengan sejarah yang panjang begitu, siapa yang tahan harus nunggu berbulan-bulan lagi untuk bisa diakui sebagai warga negara Indonesia?

Alhamdulillahnya, Surket bisa dicetak dan aku terima pas pukul 1 siang. Keluar dari Mall Pelayanan Masyarakat, kami cari rumah makan untuk isi perut dan beristirahat sejenak. Meski hasil hari ini jauh dari kata puas, setidaknya aku punya surat identitas sementara sampai 6 bulan kedepan. Awalnya sih mikir gitu. Sampai ke rumah, iseng-iseng aku search di google dengan keyword “Keluhan soal E-KTP” untuk cari info lebih lanjut soal pencetakan dsb. Dari situ, ketemulah nomor whatsapp Ombudsman RI dimana kita bisa mengeluhkan soal E-KTP. Dari sini, mungkin aparat Kantor Disdukcapil daerahku sudah bisa mengetahui siapa yang menghubungi Ombudsman. Tapi jujur, alasan aku menghubungi Ombudsman bukan untuk asal ngelapor karena kesal, tapi aku benar-benar butuh E-KTP tersebut dan tidak tahu harus dengan cara apa lagi harus mengurusnya supaya bisa benar-benar menerima KTP fisik. Coba bayangin, 7 tahun ga punya E-KTP, ngurus apa-apa ga bisa. Bahkan ngelamar kerja saja sudah susah. Yang ngeselin itu saat pihak Ombudsman sedang melakukan konfirmasi ke instansinya, aku sempet dibilangin begini, “Memang E-KTPnya untuk apa mbak, kan sudah ada Surketnya. Toh sama saja.”

I wasn’t really sure if the question was said as a form of curiousity or just for the sake of talking, but I seriously wanted to tell whoever it was at the opposite side of this convo with, “WELL, DUH.” Like, how could you ask someone why they need an ID card? Terlepas dari surketnya yang punya masa berlaku 6 bulan, kepentingan punya E-KTP fisik dengan masa berlaku seumur hidup kan bakalan lebih diprioritaskan. Tapi ya udahlah yaaa… Seharian udah capek mikir keras plus waktu dan tenaga yang sudah terbuang demi E-KTP kalo masih emosi juga kan ga lucu. Setidaknya, setelah menghubungi pihak Ombudsman ada sedikit titik terang kalau aku tetep bisa punya E-KTP baru asalkan dateng sesuai tanggal yang tertera di blanko tanda terima berkasku. Okelah. End of discussion. Mungkin ridha Allah buatku diakui bener-bener jadi penduduk Indonesia masih kepending kali ya? Hihi..

Intinya dari pengalamanku mengurus E-KTP ini adalah, selama kalian para kawula muda masih berjiwa muda dan emang masih muda beneran (maksudnya yaa.. baru lulus sekolah gituu.. ) Uruslah cepet-cepet E-KTP kalian sebelum blankonya habis. Karena diurus buru-buru atau lambat-lambat pun, aku juga ga tau kenapa itu si blanko selalu statusnya kosong melulu. Setiap tahun selalu ada anak berulang tahun ke 17, itung aja berapa puluh ribu orang yang butuh kartu identitas setelah lulus sekolah. Mungkin mereka nganggur dulu? Atau pakai kartu pelajar aja kemana-mana? I don’t know. But they’re still young though. Kalo ada apa-apa ya masih maklum larinya ke orang tua. Lah, yang 28 tahun ini? Bisa gitu ngedekem di rumah ga kerja dan ga punya E-KTP? Coba aja try being me. Coba, cobaaaaaaaa!!!!!

*Jeritan hati yang keras, tapi dalam hati sih*