Lampung : Menyayat Hati

Saat ini Lampung tengah di rundung duka akibat perseteruan dua suku, dan ironisnya dua suku ini adalah suku orang tuaku. Suatu kali teman di kampus nanya, “bapak dan ibu kamu ga berantem ni?”

Menyayat hati banget mendengar ada yang bertanya tentang hal semacam itu sama aku. Bisa sih maklum, tapi tetap aja sedih, seolah orang tuaku yang berasal dari dua suku yang berbeda dan sedang bersiteru harus juga menanggung akibat dari kesalahan orang lain. Di status kerabat sampai ada yang memaki dengan kata kasar. Ya ampun, kenapa kami yang jadi imbasnya?

Sejujurnya aku sedih sekali ada pertanyaan begini terlontar. Ini seperti meminta persetujuan untuk menyakiti salah satu keluargamu. Lalu jika ibu dan ayah aku berasal dari dua suku yang sedang bersiteru ini, apakah mereka juga harus saling berperang demi membela persatuan “keluarga”? Apakah mereka harus pula berpisah? Apakah juga kami yang dilahirkan ini juga harus disingkirkan?

Lampung sekarang bukan lagi tempat aman untuk ditinggali. Bukan lagi menjadi pernaungan tenang bagi pribumi dan pendatang untuk berdampingan. Asal ada kesalahpahaman, langsung baku hantam. Emak yang tadinya diam saja, semalam bercerita, “Tau ga ni, temanmu yang di **** datang ingin menengok kakek dan neneknya di Lampung Selatan, malah dibacok karena berusaha ingin menahan agara kakek neneknya tidak dibakar hidup-hidup. Sampai saat ini dia belum sadarkan diri.”

Malam harinya aku memikirkan hal tersebut, dan menitikkan air mata. Inikah yang disebut membela “keluarga”? Menghilangkan nyawa manusia seolah ga ada artinya hanya karena masalah kesukuan? Lalu seperti aku yang lahir dari dua suku tersebut, apakah aku akan di bunuh juga?

Ironis sekali mendapati sebuah kenyataan bahwa di era globalisasi ini masih ada orang yang lebih memilih menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, bahkan tega membunuh orang lain yang sebenarnya tidak ada andil apa-apa dalam perkara utama. Mereka menjadi korban akibat sebuah identitas kesukuan. Miris sekali mendengar ada berita seperti bayi tidak berdosa di bunuh secara keji, ada yang dijarah hartanya dan bahkan para pengungsi pasca perang tersebut menderita kelaparan. Lalu apa yang didapat setelah ini? Hasil apa yang dicapai dengan semua peperangan ini?

Aku ingin Lampung dan Bali damai.
Aku ingin keluargaku, kalian semua bisa saling berdampingan dengan senyum, bukan dengan amarah dan dendam.
Aku ingin anak-anak mereka dapat bermain bersama seperti layaknya keceriaan anak seusia mereka.
aku ingin kita saling mencintai dan menyayangi, saling duduk bersama sebagai saudara.
Aku ingin tanah airku dialiri air kehidupan, bukan darah mayat bergelimpangan.

Seandainya aku bisa bicara secara langsung dengan mereka yang terlibat langsung dalam peperangan tersebut, aku cuma akan bertanya pada mereka, “apakah sudah puas?”

Setelah itu dengan ketulusan hati yang paling dalam aku mohon agar semua itu dihentikan.
Tolong berhentilah. Tolong hentikan sebelum jatuh lebih banyak korban yang tidak bersalah. Tolong hentikan sebelum semuanya terlambat. Tolong hentikan tanpa memikirkan lagi siapa yang menang maupun kalah. tolong hentika tanpa memikirkan siapa yang salah maupun benar..

Tolong Hentikan.

apapun yang terjadi, kita sama-sama hidup dan beranak-pinak di Lampung. Sama-sama ingin damai dan sejahtera di negeri ini. mengapa harus berperang? mengapa harus melukai satu sama lain? apakah semua ini harus deselesaikan dengan cara semacam ini?

2 pemikiran pada “Lampung : Menyayat Hati

  1. Semestinya jika ada perseteruan di masyarakat sich nggak hanya karena antar suku atau antar kelompok, tapi kayaknya ada masalah lain.
    Intinya, perseteruan itu tidak disebabkan oleh perbedaan suku tapi lebih kepada antar individu.
    Antar suku bisa akur, satu suku bisa tawur…

    • Awalnya itu kesalahpahaman pak, tapi sebelum ada perdamaian warga dari dua suku yang berbed sudah perang duluan.

      Kebetulan yang salahpahamnya ini memang keluarga dari dua suku tersebut. Selain itu, memang B*li dan Pribumi L*mpung sudah sering terlibat perseteruan. Ini sudah termasuk kekacauan akibat provokasi. Makanya saya sedih pak mendengarnya.

Tinggalkan Balasan ke Annie Tjia Batalkan balasan